Soal “Apem Mahal” Sejak di Endorse Artis

OPINI365 Dilihat
Yulius Putra

Oleh : Yulius Putra

Aktris dan Artis memiliki arti berbeda, meskipun mereka berlaku sama sebagai seorang manusia, sebagai objek bergerak, atau yang lebih dikenal sebagai selebritis karena mereka merupakan seorang figur terkenal, yang kerap menjadi tontonan masyarakat luas dalam setiap laku dan tindakan, maupun style nya dengan sensasi yang berbeda.

Sejak ramai diberitakan soal oknum artis yang diduga “Menjual Apem” dengan tarif mahal, sebenarnya saya enggan untuk memberitakan, ataupun mau berkomentar baik itu dalam pembicaraan hari-hari, hingga di medsos, pun juga di perusahaan website media siber yang saya miliki.

Entah kenapa, pada suatu siang disela waktu istirahat ditelinga saya terdengar lirih dan samar ada suara elektronik visual yang lagi-lagi memberitakan soal oknum artis yang terjerat kasus prortitusi online, dengan melibatkan dua selebritis tersohor yakni Vanessa Angel dan Avriellia Shaqqila, di sebuah stasiun televisi yang memiliki program gossip dan artis.

Melihat apa yang telah mereka pertontonkan ke hadapan masyarakat melalui berbagai cuplikan berita, mulai dari celana dalam warna ungu jadi BB, Tarif Boking Puluhan Juta,  Puluhan Artis Diduga Terlibat, rasanya membuat saya geli-geli basah (gelisah) bahkan sesekali berkeringat lantaran merasa gerah. Sehingga akhirnya saya merasa perlu menyampaikan beberapa pandangan melalui tulisan ini sebagai sikap redaksi terhadap kasus ini.

1.Tak Ada Pasal Yang Spesifik Dapat Menjerat Pelaku

Pertama dari sisi hukum, kasus “esek-esek” untuk kesekian kalinya menghiasi layar kaca maupun berita online ini, terlihat tak mampu menjerat pelaku yang jelas-jelas terlibat dan berperan “mengangkang” sebagai penerima hempasan besarnya uang yang tak terbatas dari sang mucikari yang telah dibayar oleh ‘Penikmat Syahwat’.

Beberapa hari pasca Viralnya Prostisusi online yang melibatkan artis, kini terdengar kabar jika pelaku kasus “Apem Mahal” dinyatakan bebas dari jeratan perkara karena tak ada pasal yang dapat menjerat pelaku secara spesifik, hal itu juga dikuatkan oleh status pelaku yang dijadikan sebagai korban.

Setelah saya sempatkan membaca Pranala Hukum dari beberapa sumber. Teryata bebasnya pelaku dikarenakan belum ada pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat digunakan polisi untuk menjerat para pelaku, karena beberapa pasal di KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari berdasarkan ketentuan Pasal 296 jo. Pasal 506 KUHP.

Pasal 296, mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah. wajib memenuhi unsur pelaku yang mengadakan bordil atau tempat-tempat pelacuran itupun harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya atau kebiasaannya.

Kemudian pada Pasal 506, sebagai muncikari (souteneur) mengambil  keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Muncikari dimaksud adalah makelar cabul, yakni seorang laki-laki yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengan dia yang dalam pelacuran menolong, mencarikan langganan-lagganan dari mana ia mendapat bagiannya.

Sehingga setelah membaca referensi beberapa Point diatas saya berkesimpulan, pemerintah perlu memyempurnakan undang-undang  tersebut, agar lebih dapat menjerat pelaku tindak asusila yang telah membuat onar dan ‘menyusahkan’ banyak orang, baik petugas kepolisian, peliput berita maupun keluarga yang terdampak malu.

Bukan tanpa alasan, sebutan saya soal ‘menyusahkan banyak orang’ diatas itu saya rasakan secara langsung saat saya masih menjadi reporter Kriminal di salah satu Koran Harian di Lampung, saya dikejar proyeksi soal penangkapan hesty Klepek-klepek yang saat itu di usut secara Undercover oleh Subdit IV Renakta Polda Lampung, saat itu saya harus menggali informasi lengkap, dari penangkapan hingga sangsi hukum karena saya merasa mempunyai hutang pada para pembaca. Meskipun akhirnya pelaku bebas.

Terkait viral “Apem Mahal” ini juga kemudian berujung pada bebasnya pelaku, dimana perkembangan terakhir yang terkena sangsi adalah para mucikari yang fungsinya sebagai perantara, mereka tak dapat dijerat dua pasal diatas, karena tak memenuhi unsur bergantung hidup pada pelaku, tidak memaksa pelaku, sehingga  hanya dapat dijerat dengan Undang-undang sakti yang multiguna saat ini yakni UU-ITE karena ‘Jualan Apem’ nya secara online.

2. Profesi Yang Kurang Pengawasan

Kedua, dari sisi profesi yang disandang artis juga terlihat kurang aktif dan berfungsi, padahal meskipun itu ranah pribadi hendaknya organisasi profesi maupun lembaga profesi Artis yang ada dapat memberikan teguran atau mencari langkah baik agar tak lagi terulang, sesuai tujuan lembaga profesi itu dibentuk pasti dengan regulasi yang jelas dan kode etik yang jelas pula.

Yang jadi pertanyaan saya, apakah Artis itu sebuah Profesi ?

Lalu bila itu benar sebuah profesi, bukankah di setiap Profesi itu ada lembaga dan organisasi yang mengatur mereka dengan berbagai regulasi yang dibatasi oleh kode etik ?

Saya mencontohkan bila ada pelaku profesi yang salah maka dia akan dikritik, ditegur, dibina ringan dan sedang hingga dihukum secara internal. Dalam dunia artis pun harusnya demikian, organisasinya ada, pengurus dan sdm nya ada, tetapi sayangnya organisasi itu sekan Melempem padahal seharusnya itu bagian dari tugas mereka dalam hal-hal krusial seperti ini.

Walaupun tak dapat kita Generalisir semuanya, tapi harus diakui dunia keartisan saat ini mengalami turunya elektabilitas, karena mulai dari oknum pemain film, oknum penyanyi, model dan beberapa lainya, kini sudah terindikasi pernah terlibat kasus serupa, sehingga mutu nya jauh dari kata profesional, karena batasan pekerjaan mereka seakan tak ada, karena mereka mungkin berpendapat itu bagian dari gaya hidup yang pro dan kontra.

Meski tak dapat dilakukan tindakan lebih dalam karena bersifat pribadi, lembaga seperti Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) dan beberapa lain hendaknya berhak mengeluarkan rekomendasi, bila ada artis atau anggota mereka yang tertimpa kasus mesum bisa dikeluarkan dari keanggotaan, agar yang bersangkutan memiliki sangsi tegas dan tak membuat malu yang lain, atau paling sepele dapat ditegur.Bukan malah sebaliknya pura-pura diam dan tidak tau, padahal sorotan mata masyarakat tengah tertuju pada mereka.

3.Minimnya Etos Malu di Kalangan Sosial

Satu hal lain yang menarik untuk di kritisi ialah soal Minimnya Etos Malu di Kalangan Sosial, hal ini memberikan pesan yang tak baik untuk masyarakat Indonesia, baik kalangan dewasa maupun remaja yang tak jarang meniru para artis dan aktris ini sebagai referensi model dan gaya hidup mereka, karena sebagian mereka menganggap Artis adalah orang yang layak ditiru karena telah memiliki karya dan memiliki etik profesi yang disandangnya.

Bagi sebagian oknum selebritis, hal itu kini semakin biasa, karena sudah sering terjadi ditambah dengan mahalnya tuntutan biaya hidup glamor saat ini, mulai dari artis single, yang sudah bekeluarga pun yang tengah hamil nekat melakukan hal itu, hanya demi meraup pundi-pundi rupiah meski harus berusaha lebih ekstrim.

Padahal sebenarnya, para oknum artis yang tersangkut kasus prostitusi itu harusnya merasa malu, mereka ditelanjangi kamera yang setiap hari membidik kasus mereka, memberitakan perbuatan mereka, yang kemudian ditonton keluarga, lingkungan masyarakat terdekat, bahkan seluruh warga Indonesia yang telah mereka buat gempar.

Kalaulah boleh saran sebaiknya sebagai solusi, sudah seharusnya mereka memita maaf secara terbuka pada masyarakat Indonesia dengan difasilitasi Lembaga profesinya, mungkin ada fans yang kecewa, penggemar berat yang kehilangan kepercayaan, ataupun si oknum Artis pelaku itu sendiri yang merasa sudah kehilangan legitimasi untuk kembali pada profesinya.

Sudah selayaknya pula Integritas dari profesi itu dijaga secara profesional sehingga tidak menyisakan beban sosial yang amat berat ditengah masyarakat, bila dikaji banyak hal yang mereka langgar seperti budaya ke timuran kita yang rusak, karena belakangan diketahui ada juga beberapa artis Internasional yang pernah terlibat ‘esek-esek’ dengan oknum artis indonesia.

Selain meminta maaf, para pelaku juga hendaknya bertobat dengan sungguh-sungguh, menghilangkan kebiasaan lama tanpa ucapan maaf pada masyarakat, kemudian beberapa bulan pasca kasus baru muncul di kamera, memakai penutup aurat dengan mimik sedih didepan kamera, sambil melontarkan kata menyesal dan takan mengulangi perbuatan sama, sambil sesekali melempar senyum risau agar masyarakat menghiba.

Di penghujung kata, Penulis  menghadirkan tulisan opini sederhana ini semata untuk koreksi pada pihak-pihak terkait agar memperhatikan beberapa aspek diatas, beberapa tulisan kritisi yang ada juga didasari sebab akibat dan juga lengkap menghadirkan saran atau solusi.

Istilah ‘Apem Mahal’ ialah kueh apam bertekstur lembut dan nikmat yang diperumpamakan sebagai kata halus pengganti sebutan ‘alat sensitif’ wanita, sesuai dengan viralnya berita prostistusi  online oknum artis yang berani mematok harga mahal hingga puluhan juta rupiah untuk sekali berkencan.

Penulis Yulius Putra, Wartawan Kompetensi Utama PWI Lampung

Komentar