Bandar Lampung, (Metropolis.co.id) – Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki nilai spiritual tinggi bagi umat Islam. Menyukseskan penyelenggaraan ibadah haji adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, organisasi keagamaan, dan masyarakat.
Karena, setiap musim haji selalu menghadirkan tantangan dalam hal manajemen kerumunan dan logistik, terutama mengingat kuota jamaah haji Indonesia sangat besar yakni sebanyak 241.000 orang. Tahun 2024, kuota jamaah haji Indonesia mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah penyelenggaraan haji.
Jumlah ini termasuk kuota tambahan sebesar 20.000 jamaah, yang terdiri dari 10.000 kuota untuk jamaah haji reguler dan 10.000 untuk jamaah haji khusus.
Indonesia menjadi negara dengan jumlah kuota jamaah haji terbesar di dunia, disusul oleh Pakistan, India, Bangladesh, dan Iran. Karena banyaknya jumlah jamaah tersebut perlu kerja keras dan inovasi-inovasi demi menciptakan kenyamanan jamaah sehingga pada akhirnya ibadah haji berjalan aman, lancar dan sukses serta mabrur.
Untuk kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji tidak terlepas dari berbagai faktor yang saling berkaitan dan memerlukan perhatian khusus dari pihak-pihak terkait.
Strategi tersebut antara lain meliputi perencanaan dan koordinasi yang matang. Perencanaan yang matang mencakup penyediaan transportasi, akomodasi, dan layanan logistik lainnya.
Hal ini melibatkan koordinasi antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Arab Saudi, serta pihak-pihak terkait lainnya.
Kemudian, koordinasi antar lembaga. Kerja sama antara Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, dan Badan Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) sangat penting untuk memastikan semua aspek perjalanan haji berjalan lancar.
Pemerintah Indonesia menyediakan fasilitas kesehatan baik di embarkasi, selama di perjalanan, maupun di Tanah Suci. Klinik kesehatan haji Indonesia disiapkan untuk memberikan pelayanan medis bagi jamaah.
Selain itu, pemerintah juga memberikan edukasi dan pembinaan bagi jamaah yang meliputi manasik haji. Program manasik haji sangat penting untuk memberikan pemahaman mengenai tata cara pelaksanaan ibadah haji, rute perjalanan, serta kondisi dan budaya di Arab Saudi.
Pembinaan ini membantu jemaah mempersiapkan diri secara mental dan fisik. Penyediaan materi edukasi berupa buku panduan, video, dan seminar tentang haji turut membantu jemaah memahami setiap tahapan ibadah.
Belum lagi yang sejak awal sistem pendaftaran yang transparan. Sistem pendaftaran online memudahkan calon jamaah untuk mendaftar dan memantau status keberangkatan. Transparansi dalam sistem ini mencegah terjadinya penyelewengan dan memastikan keadilan dalam distribusi kuota.
Murur dan Peningkatan Kualitas
Sebagai bagian dari kementerian agama sekaligus pernah menjadi salah jamaah haji, saya paham betul bagaimana kerja keras Menteri Agama H Yaqut Cholil Qoumas (Gusmen) dan tim dalam menyukseskan penyelenggaraan ibadah haji.
Berbagai strategi dan inovasi-inovasi terus dilakukan demi lancarnya proses ibadah haji khususnya bagi jamaah Indonesia. Setelah sukses dengan program haji ramah lansia pada tahun 2023, kali ini kementerian agama berinovasi dengan strategi murur.
Murur merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan jamaah yang memiliki udzur atau halangan tertentu yang hanya melintasi Muzdalifah tanpa berhenti untuk mabit.
Berkaca pada pengalaman haji tahun lalu, akibat dari kendala transportasi bus yang terjebak macet luar biasa, sehingga ada sebagian jamaah haji yang tidak terangkut dan bertumpuk menunggu di Muzdalifah hingga pukul 14.00. Mereka terpaksa berada di hamparan tanah lapang Muzdalifah di bawah terik matahari yang menyengat.
Namun, pada haji 2024 dengan skema murur sangat membantu mengurangi kepadatan di Muzdalifah. Muzdalifah adalah salah satu titik penting dari tiga titik pergerakan haji yang dikenal sebagai Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina).
Berbeda dengan Arafah dan Mina, mabit di Muzdalifah hanya berlangsung satu malam pada malam 10 Zulhijjah.
Kawasan Muzdalifah yang sempit dan waktu yang terbatas mengharuskan penyelenggara haji untuk mengatur pergerakan jamaah dengan cermat.
Strategi murur menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan ini. Dengan penerapan murur, jamaah yang memiliki udzur dapat melaksanakan bagian dari prosesi haji tanpa menambah kepadatan di Muzdalifah. Ini memungkinkan jamaah yang mampu bermalam di Muzdalifah mendapatkan ruang yang lebih luas dan mengurangi risiko kepadatan yang berlebihan.
Petugas memastikan lokasi Muzdalifah sudah bersih dan siap digunakan oleh jamaah berikutnya tepat pada pukul 7.30 pagi. Strategi murur ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama memiliki tugas berat setiap tahunnya terkhusus untuk memastikan bahwa pergerakan di Muzdalifah bisa terantisipasi.
Dari misi suci ini, Kementerian Agama sepatutnya perlu didukung dari segala arah.
Penerapan strategi murur ini adalah bukti upaya keras Kementerian Agama dalam menyukseskan pelaksanakan ibadah haji, belum lagi kesuksesan dalam penambahan kuota jamaah haji Indonesia.
Strategi murur pada haji tahun 2024 merupakan inovasi penting dalam manajemen kerumunan dan logistik. Penerapan murur membantu mengurangi beban kepadatan, memastikan kenyamanan, dan meningkatkan keselamatan jamaah.
Upaya keras Kementerian Agama dalam mengelola pelaksanaan haji dengan profesional dan transparan memberikan harapan bahwa ibadah haji tahun 2024 dapat terlaksana dengan lancar dan berkesan bagi jamaah. Murur membantu mengurangi beban kepadatan, memastikan kenyamanan, dan meningkatkan keselamatan jamaah.
Selain murur, Kementerian Agama juga berhasil melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas layanan haji. Kepuasan jamaah haji juga meningkat dalam hal konsumsi, transportasi, dan akomodasi. Sehingga, kementerian agama dan petugas haji layak mendapatkan apresiasi dari masyarakat Indonesia.
Kuota dan Visa Haji
Tidak hanya soal penyelenggaran, Kementerian Agama juga patut mendapat dukungan dari semua pihak untuk lebih memaksimalkan perannya, bukan dengan kritik tanpa dasar dan wacana pembentukan panitia khusus di DPR. Publik seharusnya mengapresiasi dan mendukung langkah-langkah Gusmen dalam meningkatkan jumlah kuota haji.
Khususnya dalam memperkuat diplomasi agar kuota jamaah haji asal Indonesia selalu ditambah. Tahun ini, kuota jamaah Indonesia adalah yang terbanyak sepanjang sejarah penyelenggaraan ibadah haji. Jumlah totalnya mencapai 241.000 kuota haji. Selain itu, Indonesia juga mendapat kuota tambahan sebesar 20.000 jemaah.
Sebanyak 10.000 kuota tambahan diperuntukan bagi jamaah haji reguler, sementara 10.000 lainnya untuk jamaah haji khusus. Sehingga total jamaah haji Indonesia tahun ini berjumlah 241.000 orang, terdiri atas 213.320 jamaah dan 27.680 jamaah haji khusus.
Selain dukungan politik, masyarakat juga wajib memberikan dukungan kepada Kementerian Agama dengan melaksanakan haji melalui jalur legal, bukan dengan haji non visa.
Sebagaimana Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama sudah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji atau tidak prosedural itu sah, tetapi cacat dan pelakunya berdosa.
Putusan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Pertama, syarat utama dari ibadah haji adalah istitha’ah (memiliki kemampuan) dalam berbagai aspeknya, mulai mampu secara materi untuk biaya haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan, mampu fisik dengan kesehatan yang baik untuk mendukung pelaksanaan ibadah haji hingga mampu untuk menghadirkan rasa aman selama berada di Tanah Suci.
Secara umum, kemampuan fisik (badan), bekal dan transportasi menjadi hal yang paling utama dalam istitha’ah seseorang dalam ibadah haji maupun umrah.
Ketiga syarat istitha’ah ini telah diatur dengan baik oleh otoritas lembaga pelaksana ibadah haji, baik pemerintah atau negara yang memberangkatkan jemaah haji maupun pemerintah yang menjadi penguasa wilayah sebagai lokus pelaksanaan ibadah haji (Kerajaan Arab Saudi). Pengaturan tersebut, salah satunya adalah pembatasan kuota haji.
Kedua, di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji indonesia yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi).
Haji dengan visa mujamalah ini populer dengan sebutan haji furoda, yakni haji yang menggunakan visa undangan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Jamaah yang menggunakan visa ini wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus.
Ketiga, banyak oknum yang memanfaatkan situasi antrean panjang beribadah haji dengan melakukan penawaran haji menggunakan visa non haji (bukan visa haji).
Banyak penawaran berhaji tanpa antre dengan visa ziarah multiple (kunjungan berulang), visa ummal (pekerja), visa turis, visa umrah, dan jenis visa lainnya. Praktik haji seperti ini adalah praktik haji non prosedural, karena haji non kuota.
Keempat, banyak masyarakat yang tergiur haji menggunakan berbagai jenis visa tersebut. Haji non prosedural dianggap menjadi solusi bagi masyarakat yang tidak sabar menunggu antrean haji yang cukup lama.
Namun, banyak masyarakat yang tidak mempertimbangkan berbagai faktor sebagai akibat dari haji non prosedural. Mereka tidak memahami regulasi, tidak mengetahui hak-haknya, dan tidak mengutamakan sisi pelindungan sebagai WNI di luar negeri.
Berbagai faktor tersebut yang sering tidak terinformasikan dan tidak dipertimbangkan masyarakat secara matang sebelum memilih haji non prosedural.
Kelima, keberadaan para jemaah haji non prosedural menjadi persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya. Karena mereka haji tanpa visa haji, maka kehadiran mereka di Tanah Suci menjadi ilegal.
Mereka tidak tercatat secara resmi sebagai jamaah, baik menurut negara asal maupun bagi negara tujuan. Saat mereka hadir di Padang Arafah untuk wukuf, mereka tidak memiliki kuota lokasi tempat atau maktab sehingga mereka kadang mencaplok tenda maktab bagi jamaah haji resmi.
Pencaplokan tenda merupakan bentuk kezaliman kepada pihak lain dan tidak layak dilakukan hanya untuk egoisme pribadi dalam menunaikan ibadah. Selain itu, jika mereka bermasalah hukum, dampaknya bukan mereka sendiri yang dijatuhi hukuman oleh pemerintah Arab Saudi, akan tetapi juga tentu mereka merepotkan pemerintah Indonesia, karena mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Praktik haji dengan visa non haji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa non haji bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jamaah haji lainnya.
Praktik haji ilegal selain telah mencaplok (ghashab) tempat yang menjadi hak tempat yang disediakan untuk jamaah haji resmi, mereka juga memperparah kepadatan jamaah di Armuzna maupun di Makkah, yang borpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan madharat bagi diri sendiri dan juga jamaah lain.
Menyukseskan ibadah haji memerlukan kerja sama yang erat. Keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji tidak hanya membawa kebahagiaan bagi jamaah, tetapi juga meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan haji di Indonesia.
Humas UIN-RIL
Komentar