Bandar Lampung, (Metropolis.co.id) – Maraknya pemberitaan terkait dengan sebuah penyelenggara perkawinan (Wedding Organizer/WO) “Aisha Weddings” tengah menjadi perhatian dari YLBHI Surya Insan Lampung (YLBHI SILA).
Hal tersebut diketahui sejak adanya pemberitaan yang dimuat oleh situs pemberitaan VOA pada 09 Februari 2021 yang memuat pernyataan dari sejumlah organisasi perempuan dan penggiat kampanye anti – perkawinan anak terhadap brosur promosi perkawinan anak milik “Aisha Weddings” di dalam surat kabar “Kompas” pada selasa (9/2/2021).
Belum diketahui secara pasti terkait pihak mana yang sengaja menyisipkan brosur promosi perkawinan anak dalam salah satu surat kabar nasional tersebut. Walaupun pihak surat kabar tersebut telah menyanggah bahwa brosur promosi perkawinan anak bukanlah bagian dari promosi yang dilakukan oleh mereka.
Disisi lain, pada Rabu (10/2/2021) Media Sosial juga diramaikan dengan pro dan kontra terkait promosi perkawinan anak yang dilakukan oleh “Aisha Weddings”.
Ketua YLBH Surya Insan Lampung, Munadi Afrizal melalui Humasnya Ria Yulianti sangat menyayangkan promosi tersebut karena merupakan bentuk promosi sesat sehingga menimbulkan pro dan kontra dimasyarakat.
“Aisha Weddings” mempromosikan tentang anjuran untuk melakukan pernikahan bagi anak perempuan yang berusia 12 – 21 Tahun.
“Bahwa promosi yang dilakukan sangat bertentangan dengan UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mana mengatur bahwa “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun,” kata Tim YLBHI SILA Lampung, Ria Yulianti, Jumat (12/02/2021).
YLBHI SILA juga menilai bahwa apa yang dilakukan oleh “Aisha Weddings” hanyalah bermotif bisnis belaka dengan menyasar anak perempuan sebagai targetnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, selain melakukan promosi perkawinan anak, “Aisha Weddings” juga mempromosikan kawin siri dan poligami.
“Mengacu pada UU No. 35/2014 Tentang Perubahan atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang dalam Pasal 76I memuat “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak”,” ujarnya tegas.
Apabila terjadinya pembiaran terkait promosi pernikahan anak maka akan terjadi peningkatan angka perkawinan anak di Indonesia. Dalam Perkawinan anak maka tidak menutup kemungkinan bahwa anak berpotensi menjadi korban eksploitasi seksual maupun korban kekerasan.
Dalam UU No. 35/2014 Tentang Perubahan atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan anak juga secara tegas mengatur tentang sanksi pidana bagi pihak yang melakukan eksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual, yakni “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta)”.
“Selain itu promosi perkawinan anak juga membuka peluang terjadinya tindak pidana perdagangan anak seperti yang dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), hal tersebut karena adanya upaya tawar – menawar yang dilakukan dengan mengumpulkan data dari setiap anak yang akan dinikahkan dengan pihak lain yang nantinya akan menjadi pasangan yang cocok bagi anak perempuan yang sudah terdaftar di “Aisha Weddings”.,” jelas wanita lulusan FH Unila tersebut.
Menurutnya, anak adalah salah satu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang patut kita syukuri, oleh karena itu kita perlu memberikan perlindungan bagi anak dimanapun dan dalam kondisi apapun. Pasal 1 Ayat (1) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan anak menyebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Oleh karena itu frasa yang dimuat dalam promosi yang menganjurkan untuk melakukan pernikahan bagi anak yang berusia 12 – 21 dinilai sangat bertentangan dengan semangat perlindungan anak. Pasal 26 menyebutkan bahwa “Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”. Oleh karena itu, pentingnya membangun komunikasi yang baik antara anak dan orang tua guna mencegah terjadinya perkawinan anak.
Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) terdapat empat prinsip, yakni :
1. Prinsip Non-diskriminasi;
2. Prinsip yang terbaik bagi anak;
3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan;
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak;
Dalam perkawinan anak terkadang orang tua mengabaikan pendapat anaknya. Timpangnya relasi kuasa antara orang tua dan anak terkadang membuat anak tidak dapat memilih dalam menentukan kelangsungan hidupnya, sehingga terjadinya pelanggran terhadap hak-hak anak dalam kasus – kasus perkawinan anak. Anak akan kehilangan kesempatan dalam mengakses pendidikan, kehilangan waktu bermain, kehilangan kesempatan dalam menentukan masa depannya.
“YLBH SILA sangat menyayangkan adanya promosi perkawinan anak yang dilakukan oleh “Aisha Weddings”, selain bertentangan dengan hukum, juga bertentangan dengan semangat pencegahan perkawinan anak dan program wajib belajar 12 (dua belas) tahun seperti yang selama ini dicanangkan oleh Pemerintah. Untuk itu perlu adanya kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap perkawinan anak,” demikian Ria Yulianti.
Red
Komentar