Lampung : Bangsa Indonesia berasal dari Assam yg terletak di India selatan, sebelah Utara Burma. Suku Melayu kuno atau Proto Malayan Tribes dari India Selatan itu dalam pengungsiannya, bergerak menyeberangi laut Andamen untuk kemudian berpencar dalam beberapa kelompok, demikian J.R.Logan Pada tahun 1848 telah mengemukakan teorinya.
Kelompok kesatu bergerak ketimur melalui jawa dan Kalimantan dan ada yang terus keutara di philipina yang kemudian melahirkan suku bangsa Igorot dan lain lain. Kelompok kedua mencapai ujung utara sumatra menyusuri pantai barat mendarat di singkel, Barus dan Sibolga, kemudian melahirkan cikal bakalnya suku suku Batak Karo, Batak Toba, Dairi dan Alas. Kelompok ketiga meneruskan pelayarannya menelusuri Pantai Barat Sumatra terus keselatan yang akhirnya melalui krui menuju kedaerah pegunungan kembali sebagai Mountain People menetap di Gunung Pesagi dan Seminung.
Sebagai manusia gunung (mountain people) yang splendid-isolation, hidup bersatu dengan alam sekitarnya. Mereka percaya akan kekuatan gaib (fatisyme). Dan juga berusaha menggunakan kekuatan gaib itu (magie). mereka percaya bahwa dipuncak puncak gunung adalah tempat tempat roh yg tertinggi bersemayam (animisme), oleh karna itu dalam perkembangan selanjutnya, keturunan mereka mengambil tempat didaerah ketinggian seperti Gunung Pesagi.
Namun demikian pengalaman nenek moyang mereka, yang bergerak mengarunggi samudra luas dalam melakukan pengungsian besar besaran membentuk karakter “dwi muka” sebagai manusia gunung dan tau akan arti laut karna itu mereka kemudian menyebar dari Gunung Pesagi dan Seminung menuju dataran rendah disekitarnya untuk mendirikan kelompok bernama Sekala Brak.
Hal diatas memiliki benang merah dengan tulisan William Marsden melalui sejarah Sumatra, terbit pertama kali pada tahun 1779 dengan judul The History Of Sumatra, beberapa kali diterbitkan ulang, pada tahun 2008 terbit dalam versi bahasa Indonesia, menulis bahwa apabila Orang Lampung ditanya tentang darimana mereka berasal, maka mereka menjawab dari dataran tinggi dan menunjuk kearah gunung yang tinggi serta sebuah danau yang luas ( Marsden, 2008). Gunung dan danau yang dimaksud adalah gunung Pesagi dan danau Ranau.
Seorang ahli sejarah Lawrence Palmer Briggs dalam jurnalnya tahun 1950 menyebutkan bahwa sebelum tahun 683 Masehi, ibukota Sriwijaya terletak di daerah pegunungan agak jauh dari Palembang. Tempat itu dipayungi oleh dua gunung dan dilatari sebuah dangau (Keresidenan Lampung dan Palembang). Itulah sebabnya sailendra dan keluarganya disebut “ Family of the King of the Mountains (Sailendravarmsa)”.
Arlan Ismail dalam bukunya Periodisasi Sejarah Sriwijaya : 2003, menyebutkan bahwa Sakala Bhra menunjukkan pada identitas suku bangsa yang menempati satu tempat di lembah utara gunung seminung yang merupakan basis wilayah Sriwijaya pemula. Mereka mengenal diri mereka sebagai wangsa Sakala Bhra.
Sekala Brak dianggap sebagai symbol peradaban, kebudayaan dan eksistensi Orang Lampung, betapa tidak, banyak anak buay (keturunan) Ulun Lampung yang telah menyebar diberbagai penjuru masih mengakui sekala brak sebagai asal mula mereka, karena di tanah bumi sekala brak peradaban sejak sebelum masehi sudah dimulai dengan ditemukannya komplek situs megalitikum batu brak yang terdiri dari ratusan dolmen dan menhir, selain itu situs batu bertulis dan sisa – sisa peninggalan perkampungan kuno juga tersebar diwilayah Sekala Brak sekitar Gunung Pesagi.
Secara etimologi dapat kita ketahui kata Sekala Brak ( Beghak ) tergolong dalam bahasa sansekerta diartikan sebagai Titisan Yang Mulia. Dan penyebutan Lampung sendiri berasal dari kata “Anjak Lambung” yang artinya dari dataran tinggi yakni wilayah gunung pesagi yang merupakan gunung tertinggi di Lampung.
Sekala Brak Kuno
Di lereng gunung tertinggi di Lampung itu hidup sebuah suku purba yang bernama suku Tumi. Ahmad Safei, Saibatin Kepaksian Buay Belunguh, Paksi Pak Sekala Bgha, didalam bukunya Sekala Brak Asal Usul Lampung mengatakan suku Tumi berasal dari India yang datang ke wilayah dataran tinggi Lampung Barat beberapa millennium sebelum masehi. Safei menambahkan nama suku Tumi berasal dari asal nama Tamil, sebuah suku bangsa yang masih ada hingga sekarang di India (Ahmad Safei, 1972).
Dari sebuah negeri penghasil kapur barus dan kain bermotif bebungaan dan elang yang terletak di ujung Sumatera dari lereng Gunung Pesagi, menurut sebuah catatan sejarah diketahui ada seorang lelaki bernama Taruda, ia merupakan utusan raja Sekala Bgha untuk menjalin persahabatan dengan kekaisaran China.
Tarikh purba mencatat bahwa kedatangan Taruda pertama kali ke China adalah pada tahun 441 Masehi. Ia disebutkan membawa bermacam-macam hadiah di antaranya kapur barus yang kala itu merupakan salah satu hasil bumi negeri Sekala Bgha ( Artikel Asal-usul Nenek Moyang Masyarakat Sai Batin : Dr. M. Harya Ramdhoni Julizarsyah Sai Batin Marga Liwa ).
Pengelana dari Cina, I Tsing (635-713) pernah berada di Jambi dan konon pernah menetap di Sriwijaya selama 10 Tahun (685 – 695). Dalam perjalanan itu menyebut “ To Lang Pohwang” bahasa hokian yang berarti “ Orang Atas” atau “Orang Orang yang berada diatas”. I Tsing menunjuk orang – orang yang tinggal di lereng gunung pesagi atau suku tumi.
Prasasti Hujung Langit ( Hara Kuning ) bertarikh 9 Margasira 919 Caka / akhir abad 9 M yang ditemukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi, Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh pusat Penelitian Arkeolog Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26 – 45, diketahui bahwa nama Raja yang tercantum pada Prasasti Hujung langit adalah Punku Aji Yuwarajya Sri Haridewa, ia adalah satu – satunya Raja di Tanah Lampung yang meninggalkan Prasasti.
Gelar yang disandang oleh Sri Haridewa salah satunya adalah Pun atau Pu, yang merupakan gelar kehormatan bagi kebangsawanan seseorang sebagaimana banyak keluarga di kerajaan San-fo-ts’i yang bergelar pu. Begitu juga gelar Pu yang bersanding dalam kata DAPUNTA maka gelar dapunta harus diperuntukkan bagi orang yang amat tinggi kedudukannya.
Kehormatan yang amat tinggi itu ditunjukkan dengan bubuhan da-, -ta, dan sebutan hyang. Demikian keterangan makna gelar Pu dalam buku Sriwijaya yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana diterbitkan LKIS. Dan hingga kini diwilayah Sekala Brak sebutan Pun masih dilanjutkan sebagai panggilan kehormatan bagi seorang Sai Batin atau Sultan Kepaksian di Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak.
Raja yang pernah berkuasa di Sekala Brak diantaranya La Laula, ia bersama sekelompok pengikutnya tiba di Sekala Bgha dari Hindia Belakang (sekitar Vietnam dan Kamboja) pada awal abad Masehi dengan menggunakan kapal kano. La Laula tiba di sebuah negeri yang dipenuhi pohon Sekala di mana di sana telah berdiam suatu entitas masyarakat yang bernama Suku Tumi.
Kehadiran La Laula yang lambat laun berhasil menarik pengikut, membuatnya berhasil menaklukkan suku Tumi dan mendudukkan dirinya sebagai raja Kerajaan Sekala Bgha. Kemudian tersebut pula nama Raja Sri Hardewa (Prasasti Bunuk Tenuar 997 M), Tambo Paksi Pak Sekala Bgha mencatat di antaranya Sangkan (abad 12 Masehi) Mucca Bawok (abad 12-13 Masehi) dan Sekeghumong (abad 13 Masehi ).
Kepaksian Sekala Brak ( Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak )
Berdasarkan Tambo Sekala Brak dijelaskan bahwa dataran Sekala Brak yang pada awalnya dihuni oleh suku bangsa Tumi ini menyembah sebuah pohon yang bernama Belasa Kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan satunya lagi adalah sebukau yaitu sejenis kayu yang bergetah.
Keistimewaan Belasa Kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya, namun jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Karena keanehan inilah maka Belasa Kepampang ini diagungkan oleh suku bangsa Tumi.
Selaras pula dengan warahan masyarakat komering, sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga: “Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako” Terjemahannya berarti “Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang),.
Sezaman dengan ranah pagaruyung pemerintah bundo kandung, Naik di Gunung Pesagi turun Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa”.
Ketika para mujahid dan pendakwah islam datang dari Pasai melewati pagaruyung, kemudian sampai di wilayah Kerajaan Sekala Brak maka ditaklukkan dan dikalahkanlah suku bangsa Tumi bersama Raja terakhir mereka Ratu Sekeghumong, kemudian sesembahan mereka yaitu “ Melasa/ Belasa Kepampang” ditebang dan kayunya dibuat singgasana oleh Para Pendakwah, tempat duduk atau singgasana itu disebut Pepadun.
Dengan ditebangnya pohon Belasa Kepampang ini merupakan pertanda jatuhnya kekuasaan suku bangsa Tumi sekaligus hilangnya faham animisme di kerajaan Sekala Brak selain itu juga makna tersyirat alasan dijadikannya Kayu Sesembahan menjadi tempat duduk adalah upaya mengubah keyakinan suku tumi bahwa Tuhan sejatinya tidak bisa diduduki.
Pada mulanya Pepadun dibuat sebagai tempat duduk atau singgasana yang hanya dapat digunakan atau diduduki pada saat penobatan SAIBATIN/ Raja- Raja dari Paksi Pak Sekala Brak serta para keturunannya, namun pada perkembangannya saat ini Pepadun juga menjadi istilah penyebutan bagi masyarakat yang menganut sistem kepenyimbangan ( abung siwo mego, buay lima way kanan, mego pak tulang bawang dan pubian telu suku ).
Sedangkan masyarakat Lampung yang menganut sistem kesaibatinan atau melestarikan nilai kebangsawanan disebut masyarakat adat Sai Batin ( Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, Marga – Marga Adat yang ada di wilayah Ranau, sepanjang pesisir bagian barat hingga selatan Lampung ), akan tetapi walau demikian keduanya tetaplah satu sebagai Ulun Lampung, Jelma Lampung, Suku Lampung yang asal nenek moyang mereka adalah dari Sekala Brak.
Empat orang Putera Maulana Umpu Ngegalang Paksi tiba di Sekala Brak untuk menyebarkan agama Islam. Fase ini merupakan bagian terpenting dari eksistensi masyarakat Lampung. Dengan kedatangan Keempat Umpu ini maka merupakan kemunduran dari Kerajaan Sekala Brak Kuno atau Suku Tumi yang merupakan penganut Animisme dan sekaligus merupakan tonggak berdirinya Kepaksian Sekala Brak atau Paksi Pak Sekala Brak yang bernafaskan Islam.
Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak berdiri, melanjutkan kebesaran kerajaan sekala brak kuno dengan memasukkan nilai-nilai agama Islam yang Mulia, pemerintahan dibagi menjadi empat wilayah kekuasaan oleh keturunan empat bersaudara, yaitu :
- Umpu Pernong berkuasa di Kepaksian Pernong, Ibu Negeri Hanibung ( Batu Brak )
- Umpu Nyerupa berkuasa di Kepaksian Nyerupa, Ibu Negeri Tampak Siring ( Sukau )
- Umpu Belunguh berkuasa di Kepaksian Belunguh, Ibu Negeri Tanjung Menang (Kenali).
- Umpu Jalan Di Way berkuasa di Kepaksian Jalan Di Way, Ibu Negeri Puncak (Kembahang)
Umpu berasal dari kata Ampu seperti yang tertulis pada batu tulis di Pagaruyung yang bertarikh 1358 A.D. Ampu Tuan adalah sebutan Bagi anak Raja Raja Pagaruyung Minangkabau.
Alkisah setibanya di Sekala Brak keempat Umpu bertemu dengan seorang Muli ( gadis ) yang ikut menyertai para Umpu dia adalah Si Bulan. Di Sekala Brak keempat Umpu tersebut mendirikan suatu perserikatan yang dinamai Paksi Pak yang berarti Empat Serangkai atau Empat Sepakat. Setelah perserikatan ini cukup kuat maka suku bangsa Tumi dapat ditaklukkan dan sejak itu berkembanglah agama Islam di Sekala Brak.
Suku Tumi yang menolak dakwah ajaran islam yang disebarkan oleh Paksi Pak melarikan diri ke wilayah Pesisir bagian barat ( sekarang krui ), namun berhasil ditaklukkan oleh lima punggawa utusan dari sekala brak, kelima punggawa itu sampai saat ini dikenal dengan Punggawa Lima yang menjadi nama daerah di wilayah Pesisir Barat Krui.
Sedangkan Si Bulan, berkat kesetiaannya serta ikut membantu perjuangan dakwah Paksi Pak, maka diberi penghargaan sebagai “ Nabbai Paksi” atau saudara Paksi Pak, menerima kedudukan sebagai bendahara Paksi Pak sehingga disebutlah dengan Buay Nekhima, selain itu ia diberi wilayah di daerah Cenggiring,akan tetapi seiring perjalanan waktu kemudian Si Bulan / Putri Bulan / Putri Indrawati ini hijrah dari Sekala Brak menuju kearah matahari hidup ada yang menyebutnya negeri menggala.
Oleh karena Si Bulan hijrah maka atas permufakatan dari keempat Paksi tugasnya sebagai bendahara Paksi dipercayakan kepada seorang keturunan dari Si Bulan yaitu Si Nyata yang ada di Pekon Luas, ia lah yang melanjutkan tugas untuk menyimpan pusaka-pusaka Paksi Pak termasuk Pepadun dan kemudian diberi kedudukan didalam Paksi Buay Belunguh sebagai pangtuha di wilayah Pekon Luas, kepadanya diberikan gelar Raja secara turun temurun.
Pada Tahun 1939 terjadi perselisihan diantara keturunan Si Nyata, memperebutkan keturunan yang tertua atau yang berhak menyimpan Pepadun. Maka atas keputusan kerapatan adat Paksi Pak Sekala Brak dan disepakati pula oleh Keresidenan kala itu, maka Pepadun tersebut disimpan di Lamban Gedung Kepaksian Belunguh hingga sekarang.
Suku bangsa Lampung, baik yang berada di daerah Lampung, Palembang, dan Pantai Banten berpengakuan berasal dari Sekala Brak. Perpindahan Warga Negeri Sekala Brak ini bukannya sekaligus melainkan bertahap dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting didalam sejarah seperti:
- Ketika suku bangsa Tumi yang mendiami Sekala Brak melarikan diri dan Skala Brak jatuh ketangan Paksi Pak Sekala Brak, hingga mereka menyebar kedaerah lain.
- Adanya bencana alam berupa gempa bumi yang memaksa sebagian Warga Negeri Sekala Brak untuk berpindah dan mencari penghidupan yang baru.
- Adanya hubungan yang erat antara Paksi Pak dengan Kesultanan Banten, sehingga banyak keturunan sekala brak yang berada di Cikoneng Banten hingga saat ini.
- Keinginan Masyarakat Sekala Brak untuk “Ngebujakh Lain Miccakh” yang artinya mendirikan daerah baru ataupun kampung baru untuk membesarkan adat bukan memisahkan diri. Sehingga saat ini banyak kelompok masyarakat yang sudah berbentuk Marga Adat dan Bandar adat, tersebar disepanjang pesisir wilayah Lampung, para pemimpin adat di Marga atau Bandar tersebut adalah juga para bangsawan keturunan Paksi Pak Sekala Brak.
Perpindahan penduduk dari Sekala Brak ini sebagian mengikuti aliran Way Komring yang dikepalai oleh Pangeran Tongkok Podang, untuk seterusnya beranak pinak dan mendirikan Pekon atau Negeri. Kesatuan dari Pekon Pekon ini kemudian menjadi Marga Atau Buay yang diperintah oleh seorang Saibatin di daerah Komring –Palembang. Sebagian kelompok lagi pergi kearah Muara Dua, kemudian menuju keselatan menyusuri aliran Way Umpu hingga sampai di Bumi Agung. Kelompok ini terus berkembang dan kemudian dikenal dengan Lampung Daya atau Lampung Komring yang menempati daerah Marta Pura dan Muara Dua di Komring Ulu, serta daerah Kayu Agung dan Tanjung Raja atau Komring Ilir.
Kelompok yang lain yang dipimpin oleh Puyang Rakian dan Puyang Nayan Sakti menuju ke Pesisir Krui dan menempati Pesisir Krui mulai dari Bandar Agung di selatan pesisir hingga Pugung Tampak dan Pulau Pisang di utara. Kelompok yang dipimpin oleh Puyang Naga Berisang dan Ratu Piekulun menyusuri Way Kanan menuju ke Pakuan Ratu, Blambangan Umpu dan Sungkai Bunga Mayang di barat laut Lampung untuk meneruskan jurai dan keturunannya hingga meliputi sebagian utara dataran Lampung.
Adipati Raja Ngandum memimpin kelompok yang menuju ke Pesisir Selatan Lampung Mengikuti aliran Way Semangka hingga kehilirnnya di Kubang Brak. Dari Kubang Brak sebagian rombongan ini terus menuju kearah Kota Agung, Talang Padang, Way Lima hingga ke selatan Lampung di Teluk Betung, Kalianda dan Labuhan Maringgai. Daerah Pantai Banten yang merupakan daerah Cikoneng Pak Pekon adalah wilayah yang diberikan sebagai hadiah kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kenali -Buay Belunguh setelah menumpas kerusuhan yang diakibatkan oleh Si Buyuh.
Sebagian lagi yang dikepalai oleh Menang Pemuka yang bergelar Ratu Di Puncak menyusuri sepanjang Way Rarem, Way Tulang Bawang dan Way Sekampung. Menang Pemuka atau Ratu Di Puncak memiliki tiga orang istri, istri yang pertama. berputera Nunyai, dari istri kedua memiliki dua orang anak yaitu seorang putera yang diberi nama Unyi dan seorang puteri yang bernama Nuban, sedangkan dari istri ketiga yang berasal dari Minangkabau memiliki seorang putera yang bernama Bettan Subing. Jurai Ratu Di Puncak inilah yang menurunkan orang Abung. Jurai Ratu Nyerupa Sekala Brak juga yang mendirikan Marga Nyerupa di Komering Seputih Lampung Tengah. Sedangkan Buay Bulan Tulang Bawang adalah keturunan dari Indarwati yang Bergelar Putri Bulan yang pada awalnya berkedudukan di Cenggiring Sekala Brak.
Kerajaan Sekala Brak lestari hingga kini, sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), ketika Kerajaan tidak lagi memegang tampuk Pemerintahan, sekala brak menjelma menjadi Kerajaan Adat dengan sebutan Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, dengan tujuan memelihara dan mengembangkan adat dan budaya “Sai Batin” dan menjaga kearifan local.
Lambang Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak “ Cambai mak Bejunjungan” mempunyai falsafah bahwa kerajaan Adat Paksi pak Sekala Brak dapat berdiri tegak kokoh dan kuat berdikari. Batas – batas wilayah masing masing kepaksian masih sangat jelas, “ Gedung Dalom” sebutan untuk Istana masih berdiri tegak, “ Pemanohan”/ pusaka terpelihara, Raja atau Sai Batin” tetap turun menurun, struktur pemerintahan tertata rapi mulai tingkat paksi, marga, suku, kampung, dan kelompok rumah.
Sumber dan Referensi : Website kerajaan Sekala Brak dengan judul awal ‘Selayang Pandang Sejarah Kerajaan Sekala Brak Lampung’ yang kemudian dirubah oleh redaksi dengan, 4 Umpu Sekala Brak Lampung ‘Anak Raja Pagaruyung Minangkabau’. Adapun Maksud perubahan adalah mengambil Angle Lain yang dirasa sangat Bagus dan Menarik.
Penulis : Putra Vilia Sutan Rais
Komentar