Oleh : Juniardi
Seorang sahabat yang lama tak berkabar tiba tiba menyapa via whatsahpp, Selasa (11/9) dini hari. “Selama Satu Muharam brother,” ucapnya. Kegembiraan tiba tiba kami bercengrama meski tak bertatap muka. Mengenang masa delapan tahun lalu, di Istana Negara.
Bicara dari soal keluarga hingga konstelasi politik, hingga kandidat jelang Pilpres 2019 termasuk isu isu nasional. Diujung percakapan, ada sebuah tulisan panjang, yang mungkin juga dari sebuah proses copas, tapi cerita itu menyentuh pemikiran saya.
Dalam tulisan pesan WA itu ditertulis, Pada tahun 1894, sebuah surat yang telah disobek- sobek ditemukan di keranjang sampah oleh staf dari seorang Jenderal Prancis. Maka dilakukanlah investigasi besar2an untuk mengetahui siapa yang lewat bukti surat itu telah menjual rahasia militer Perancis ke pihak Jerman. Dan kecurigaan kebanyakan orang mengarah pada Letkol Alfred Dreyfus.
Dreyfus tidak punya track record yang tercela, tidak juga punya motif untuk melakukan pengkhianatan. Cuma ada dua hal yang dapat membuat kecurigaan terhadap Dreyfus. Pertama, tulisannya mirip dengan surat yang ditemukan, dan lebih parah lagi, dia satu2nya pejabat militer yang beragama Yahudi. Waktu itu, Militer Perancis dikenal anti Yahudi.
Lalu rumah Dreyfus digeledah, mereka tidak menemukan bukti apa pun. Tapi ini pun malah dianggap sebagai bukti betapa liciknya Dreyfus. Tidak hanya berkhianat, dia juga dengan sengaja menghilangkan semua bukti. Lalu mereka memeriksa personal history-nya, bahkan menginterview guru sekolahnya.
Ditemukan dia sangat cerdas, menguasai empat bahasa, dan punya memori yang sangat tajam. Maka ini pun dianggap sebagai “bukti” bahwa Dreyfus punya motif dan skill untuk kerja pada agen intelijen asing. Bukankah memang agen intelijen harus punya 3 skill itu? Benarkan?
Maka Dreyfus diajukan ke pengadilan militer, dan dinyatakan bersalah. Di depan publik, lencananya dilucuti, kancing baju dicabut, pedang militernya dipatahkan. Peristiwa ini dikenang sebagai “Degradation of Dreyfus”.
Saat diarak oleh massa yang menghujat dia, Dreyfus teriak, “Saya bersumpah saya tidak bersalah, saya masih layak untuk mengabdi pada negara, Hidup Perancis. Hidup Angkatan Darat”. Tapi semua orang sudah tidak peduli dengan teriakannya, dan akhirnya dia divonis penjara seumur hidup di Devil’s Island, pada tanggal 5 Januari 1895.
Mengapa serombongan orang pintar dan berkuasa di Perancis waktu itu begitu yakin bahwa Dreyfus bersalah? Dugaan bahwa Dreyfus memang sengaja dijebak, ternyata keliru. Para sejarawan meyakini bahwa Dreyfus tidak dijebak, dia hanya menjadi korban dari sebuah fenomena yang disebut. “Motivated Reasoning”.
Yaitu sebuah penalaran yang nampak sangat logis dan rasional, padahal semua itu hanyalah upaya mencari PEMBENARAN atas suatu ide yang telah diyakini sebelumnya. Tujuannya? termotivasi untuk membela atau menyerang ide tertentu, bukan mencari KEBENARAN secara jernih, dari pihak mana pun kebenaran itu berasal.
Maka kalau orang sudah mengeras sikapnya untuk sangat pro atau anti partai politik tertentu, atau sudah terlanjur gandrung atau benci sama seseorang, maka orang akan cenderung mengalami “motivated reasoning”. Apa pun pendapat orang lain yang dianggap musuh akan nampak salah di pikiran “rasional”.
Karena memang itulah hebatnya otak, selalu bisa menemukan alasan rasional kenapa mereka salah, dan saya benar. Orang akan bisa mencari 1000 bukti yang membenarkan sikap itu. Bahkan hal2 yang sifatnya netral tiba tiba jadi nampak sebagai “bukti” dari kebenaran sikap ini.
Kalau hati sudah dikuasai oleh cinta atau benci, dan berketetapan, pokoknya saya pro ini, anti itu, kita akan cenderung meyakini kebenaran segala pendapat yang mendukung pendapat kita, dan mengabaikan segala argumen yang berlawanan dengan keyakinan kita.
Kita jadi kehilangan akal sehat yang adil dan proporsional dalam menyikapi segala hal. Para psikolog menyebut kesesatan pikir yang mewabah akhir akhir ini disebut “Confirmation Bias”.
Fenomena “Confirmation bias” dan “Motivated reasoning” ini sudah sangat jamak ditemukan di sekitar kita, bahkan kadang kita pun ikut jadi pelaku utamanya. Karena hampir semua dari kita telah mengambil sikap untuk memilih partai tertentu, suka tokoh tertentu, punya agama atau madzhab tertentu, bahkan mungkin menjadi anggota fanatik supporter klub sepak bola tertentu. Semua ini telah menjadikan kita secara otomatis mudah sekali terjebak dalam dua kesesatan pikir di atas.
By the way, bagaimana dengan nasib Dreyfus? Adalah “Colonel Georges Picquart”, yang walaupun dia juga anti Yahudi, mulai berpikir, bagaimana jika memang Dreyfus tidak bersalah? bagaimana jika karena salah tangkap, penjahat sebenarnya masih berkeliaran dan terus membocorkan rahasia militer Perancis pada Jerman?
Kebetulan dia menemukan ada pejabat militer lain yang tulisan tangannya lebih mirip dengan surat yang ditemukan, dibanding tulisan Dreyfus. Singkat cerita, atas perjuangan Colonel Picquard, Dreyfus baru dinyatakan tidak bersalah 11 TAHUN kemudian.
Yang paling menakutkan dari Motivated Reasoning & Confirmation Bias_ ini adalah, pelakunya seringkali tidak menyadari dan membela pendapatnya mati-matian sambil menghujat pendapat lain yang berbeda, sehingga efeknya terjadi perang mulut, bahkan di beberapa negara, terjadi genocida, dan perang saudara.
Maka bagaimana caranya agar kita bisa berpikir lebih adil dan jernih?
Bagaimana agar kita selamat dari dua sesat pikir di atas? agar kita bisa membuat prediksi yang akurat, membuat keputusan yang tepat, atau sekedar membuat good judgement?
Menariknya, ini tidak berkaitan dengan seberapa pintar atau seberapa tinggi IQ kita atau gelar akademis kita. Kata para ahli tentang “good judgment (penilaian yang jernih)”, ini justru berkaitan erat dengan bagaimana anda “merasa” (how you feel).
Berikut beberapa Tips untuk memiliki “penilaian yang jernih” :
1. Jangan terlalu emosional. Semakin kita emosional, semakin kita termotivasi untuk menyeleksi kebenaran. Semua argumen yang berlawanan akan cenderung kita abaikan. Sementara hoax-pun, asal cocok dengan selera kita akan buru2 kita yakini kebenarannya.
2. Pertahankan rasa Ingin tahu (Curiosity). Rasa penasaran ingin tahu ini akan membuat kita lebih ingin mengecek argumentasi dari dua kubu. Tidak cepat puas buru2 meyakini segala informasi yang masuk.
3. Milikilah hati dan pikiran yang terbuka (Open-Mind & Open-Heart)
dengan begini kita akan cenderung mau mendengarkan dan berempati atas posisi masing masing dari dua kubu yang berseteru. Jangan menutup diri hanya mau menerima informasi dari pihak yang pro sama kita, dan langsung mencurigai, bahkan menolak berita dari semua yang kita anggap pro lawan kita.
4. Jadilah orang yang Independen (grounded). Jangan mudah anut grubyuk ikut-ikutan pendapat seseorang atau satu kelompok. Jangan letakkan harga diri kita berdasarkan omongan orang lain tentang kita. Silahkan pro ini atau anti itu. Tapi jangan overdosis, sampai menganggap segala hal yang dari pihak kita pasti benar dan segala hal yang dari pihak lawan pasti salah.
5. Milikilah kerendahan hati (Humbleness) bahwa memang kita punya keyakinan tertentu tentang segala hal (politik, sikap keagamaan, aliran pemikiran, dll) tapi dengarkan dengan empatik juga pendapat2 yang berlawanan dengan kita. Dan jika bukti bukti menunjukkan kita memang salah, jangan sungkan sungkan untuk mengakui dan minta maaf.
Kesimpulannya, menurut Julia Galef, yang ceramahnya di Tedx mendasari tulisan ini adalah “Untuk memiliki good judgment (penilaian yang jernih), khususnya untuk hal2 yang kontroversial, kita tidak terlalu membutuhkan kepintaran atau analisa yang canggih, tapi kita lebih membutuhkan “kedewasaan psikologis dan pengelolaan emosi yang baik”
Jadi apa yang paling kita inginkan? Apakah membela mati-matian pendapat subyektif kita? Ataukah ingin melihat dunia dengan mata hati sejernih mungkin?. Semoga bermanfaat. Tabik.
Komentar