Nuansa, (Metropolis.co.id) – Matahari mulai meninggi, deru kereta babaranjang juga perlahan meredup dan hilang setelah melintasi titian rel dikawasan perbatasan Muara Putih induk dan Citerep, Natar Lampung Selatan.
Daerah bantaran pinggir rel yang biasanya kerap jadi sasaran empuk para calon kepala segala kepala, untuk meraih kuasa dengan menabur janji dan segala berkat berlogo pamrih terlihat sepi dari jamahan bantuan.
Di siang itu, dengan berbekal ‘Semangat Jiwa’ seorang lelaki paruh baya datang, ia menghampiriku yang baru saja usai menyemprot dirumah dan beberapa kerabat sekitar.
Tak lama ia mendekat dan bertanya apa itu ? Lantas saya menjawab ini adalah cairan disinfektan pabrikan beraroma serai yang didapat dari salah seorang sahabat di selatan.
Seakan ingin tau lebih dalam, pria berkumis dengan tinggi berkisar 160 itu kembali bertanya.
“Inikan cairan buat penyemprotan massal itu, antisipasi dari kuman untuk menghindari virus corona itukan,” ucapnya tegas dengan suara khas yang memiliki tone bass lebih dominan itu.
Aku menggumam dan menjawab ia, ia bah. Abah Anton namanya, memang begitu kami memanggilnya, pria yang berprofesi sebagai pedagang musiman yang terkenal dengan sebutan ‘pelacak’ ini begitu bersemangat untuk lebih mencuri perhatianku.
Tak lama kemudian ia menatap sebuah semprotan yang masih manual alias ‘dongkrak’ dihadapan kami. Tatapanya begitu liar lalu kembali bertanya soal dimana saya dapatkan itu, rekomended atau tidak dan faedah atau malah mudarat ?
Semua kujawab dan coba memberikan pemaparan singkat bahwa itu layak dan terjamin untuk dipakai dengan takaran pabrik yg konsisten, apalagi ditambah ekstrak bau serai, sehingga baunya tidak lagi polos seperti disinfektan pada umumnya.
Dia pun bergerak menghampiri pompa solo yang baru saja dipinjam dibelakang rumah, dan berkata kenapa tidak disemprotkan saja secara gratis untuk warga sekitar, soal tenaga dia siap dan bahkan sangat senang dengan kegiatan yang bersifat sosial untuk tabungan akhirat.
Setelah beberapa percakapan, tanpa ragu, saya pun kemudian menjawab bahwa sedianya memang itu tujuan adanya beberapa galon disinfektan tersebut. Lalu saya bergegas mengisi air dengan takaran rekomendasi dari si empu awal alias penjual barang yakni Fahmi.
Semprotkan Disinfektan Gratis ke Rumah Warga
Setelah mengentaskan racikan itu, lalu saya meletakkanya disebuah kursi kayu di pelataran rumah semi permanen kaum marjinal seperti umumnya warga lain yang masih betah menumpang berdomisili di pinggir rel.
Ia pun mengajak dan berkata.
“Ayok kita jalan dan semprotkan kel warga lingkungan,” ajaknya sembari mengangkat pompa yang sudah siap tempur alias telah berisi.
Perlahan sayapun mengikuti dengan menenteng galon disinfektan 5 liter sebagai persiapan tambahan amunisi apabila yang dipikulnya telah habis.
Dibawah terik matahari itupun kami memulai langkah dengan bismillah, lalu mengitari satu persatu sudut lingkungan, bahkan melewati lorong demi lorong rumah warga. Berharap mereka menerima dan berkenan memberikan kami izin melakukan penyemprotan.
Langkah yang kami tuju sudah lumayan jauh, bahkan hingga keseberang rel, saat di pelataran musala kami didatangi kepala rukun tetangga dan bertanya perihal apa yang kami lakukan dari siapa dan disuruh siapa, percakapan dua arah itu terjadi, dengan ramah Abah Anton menjelaskan sembari memompa.
“Ini semprotan swadaya saja, beli sendiri, bukan dari desa ataupun pemerintah,” ujar abah.
Setelah mendengar penjelasan, pak ReTe kami itupun malah tertarik dan memilih untuk ikut dan membaur bersama kami ‘pasukan anti kuman’ menyusuri kediaman warga lainya.
Dengan bangga hati kami terus melaju dan bergerak dengan pengawalan pak ReTe, bahkan dengan lincah ia menawarakan pada warga apakah dalam rumah mereka juga berkenan disemprot atau tidak.
Singkat cerita, setelah menyisir beberapa puluh rumah warga, kami kembali kerumah, duduk dan beristirahat sambil menyeruput lemon hangat sasetan, waktu itu juga tepat sebelum adzan zuhur berkumandang, dimana kami telah berhasil mengentaskan sementara pekerjaan untuk kemudian diteruskan pada sore hari.
Trip ke Dua Sore hari
Sekira pukul 16.00WIB lebih Abah kembali datang, dan lagi-lagi dia tanpak penuh semangat, kemudian kembali mengajaksaya berkeliling menghabiskan beberapa tank isi semprotan, hingga pekerjaan itu benar-benar kami entaskan, lalu kembali pulang sambil melewati beberapa ibu-ibu yang sedang santai sore dipinggir rel dan pelataran rumah.
Setelah usai, sejenak saya tertegun melihat peluh Abah Anton yang mengucur deras, betapa semangat jiwa nya dia, mau turun tanpa tunggu perintah, memberi tanpa harus disebut oleh warga, tanpa pamrih, apalagi berharap mendapat keuntungan meskipun hanya ucapan terimakasih.
Saya juga teringat dari sekian banyak rumah, ada beberapa warga yang sempat menolak, karena takut akan kami tarik biaya, mengingat hari sebelumnya ada oknum yang berbuat sama, tetapi sayangnya meminta uang, berdalih alakadarnya, tetapi saat diberi Rp.5000, si pemyemprot tanpak tak iklas dan hanya menyemprot sedikit saja bagian depan pintu dan teras rumah, begitu cerita warga.
Semangat Jiwa
Yah itulah yang keluar dari diri Abah Anton, yang begitu bersemangat dan sangat peduli dengan sekitar lingkungan.
Menangkal tak boleh menunggu. Memberi tak harus besar, tetapi bergerak sekicil apapun asal memberi manfaat pada masyarakat itulah yang namanya PEDULI.
Tak banyak memang, hanya penyemprotan beberapa galon disinfektan dengan isi beberapa tanki semprotan, tetapi semangat dan pemberianya (Abah) berdampak luas hingga puluhan rumah di lingkungan kami.
Banyak ilmu yang saya pelajari dari rendah hatinya, ia tulus bahkan sempat tak enak hati lantaran nanti takut ditegur pihak desa karena lancang mendahului, nekat memberi padahal ‘kecil’, bahkan ia pun berucap lirih apa nanti kata sikaya dan pihak berpengaruh di kampung kami ?
“Saya takut berbuat baik ini nanti malah salah arti, apakah nanti pihak desa tersinggung karena mendahului, tapi yasudahlah kita mau berbuat baik kok,” tukasnya.
Sayapun menjawab, dengan positif bahwa apa yang telah ia lakukan akan saya bantu pertanggungjawabkan seumpama ada para pihak yang ingin mencari celah untuk menyalahkan.
Semoga apa yang di berikan Abah Anton menjadi contoh bagi si ‘kaya’, perangkat pemerintah, para calon kepala daerah di Lampung selatan, Terutama pemangku kebijakan ditingkat pemerintahan, bagaimana masyarakat menanti kehadiran mereka, bukan cuma imbauan, ucapan turut beduka, tetapi turun memberi sekecil apapun itu.
# Feature ini sengaja saya dedikasikan untuk Abah Anton, karena ditengah wabah yang ditakuti semua orang, masih ada pribadi yang tulus membantu, meskipun keadaanya sama bahkan minim daripada mereka yang berada.
Komentar