Oleh : Muhammad Alfarizzi Nur
Pungli bukan hal yang baru dalam lingkungan kita. Singkatan yang berasal dari kata ‘Pungutan Liar’ pada saat ini, telah menjamur dan lestari pada sektor-sektor tertentu. Sebagai gambaran, pungli yang mungkin kita sering kenal adalah para oknum tukang parkir yang tidak terverifikasi oleh suatu lembaga manapun, pemerintahan atau swasta.
Perkara ini tidak bisa dianggap suatu ‘angin lalu’, walaupun sebagian banyak unsur masyarakat yang secara sadar tidak sadar, menggangap pungli bukan merupakan suatu masalah.
Bagi para kaum idealis nan kritis, kegiatan pungutan liar bukanlah menyoal sebanyak nominal berapa uang dikeluarkan dari dompet kepada para oknum. Tetapi faktor wisdom (kebiasaan) yang merupakan bentuk dari ‘cikal bakal kegiatan koruptif’, yang apabila tidak tangani akan menimbulkan dampak yang signifikan pada produktifitas sosial dan ekonomi di masyarakat.
Secara mengejutkan, pada tanggal 10 Juni 2021. Presiden Jokowi Widodo melakukan peninjauan di Kawasan Terminal Tanjung Priok dengan menemukan langsung adanya kegiatan pungli, pada saat Presiden bersama para pengemudi membuka dialog bersama.
Dilansir oleh media nasional dalam dialog itu, pengemudi menyatakan banyak aksi kriminal yang menimpa mereka di kawasan terminal pelabuhan berupa penondongan hingga pembegalan.
Akibatnya, Polri langsung melakukan penangkapan massal terhadap para pelaku pungli dan premanisme. Dalam rentan waktu 11-14 Juni 2021, Polri menangkap 3.283 preman dan pelaku pungli di titik 1.368 detik. Sebagai buntut respon Presiden dengan langsung menelpon Kapolri pasca dialog bersama pada 10 Juni 2021 lalu.
Usut punya usut, nampaknya pungli dan aksi premanisme kian kolaboratif dan berjaring secara massal. Tidak hanya pada sektor pelayanan pengangkutan, pelayanan publik lainnya seperti pendidikan, perizinan bahkan bantuan sosial (bansos) yang masih rawan akan potensi terdapatnya pungutan liar, tetapi tidak menampik pada sektor lainnya. Karena pungli pasti berpotensi terjadi setiap birokrasi pemerintahan.
Pasalnya, berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Saber Pungli Indonesia, pada kurun waktu Januari sampai dengan Maret 2019 (triwulan) laporan pengaduan masyarakat berdasarkan jenis pelayanan publik tekait praktik pungli banyak terjadi di Administrasi Daerah dengan total pengaduan masyarakat berjumlah 23 laporan.
Sedangkan pada sektor penegakan hukum tecatat 21 laporan pengaduan masyarakat yang terjadi di Kepolisian RI. Sebagai catatan, data publikasi secara tahunan pada tahun 2019 maupun triwulan dan tahunan 2020 tidak terdapat di situs Saber Pungli Indonesia.
Kondisi pandemi Covid-19 tidak menyurutkan para oknum pungli menimbulkan rasa iba untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.
Sebagai contoh, pada praktik pungli pada bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang terdampak Covid-19, yang telah tercatat 1.200 kasus pada bulan Januari sampai dengan akhir Maret, berupa pemotongan secara langsung atau tidak langsung oleh Pungli. Selain itu Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mensinyalir di 13 daerah dengan DKI Jakarta sebagai daerah yang memiliki banyak pengaduan terkait penyimpangan distribusi bansos.
Uraian diatas secara kualitatif telah membuktikan. Bahwa pungli masih memainkan peran kotor dalam lingkungan masyarakat maupun pelayanan publik. Mirisnya, pungli demikian terjadi pada saat Pandemi Covid-19 melalui bansos.
Oleh karena itu, perlu langkah-langkah hukum yang signifikan dan sistematis yang patut dimengerti oleh publik, sebagai bentuk upaya pencegahan secara hukum dan termasuk membantu memberantas agenda-agenda koruptif yang terjadi di sektor Pemerintahan.
DAMPAK PUNGLI DAN UPAYA HUKUM
Pungutan liar secara sederhana diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut.
Secara normatif, pengertian tersebut dapat dijadikan indikator untuk melihat suatu perbuatan merupakan pungli atau tidak, tidak jarang memang dilakukan oleh para oknum pemerintahan.
Bila berkaca pada integritas seseorang Pegawai Negeri atau Pejabat Negara yang berstatus ASN, seharusnya subjektifitas dan moralitas yang melekat pada status penyelenggara pemerintahan yang mereka pegang.
Patutnya dipahami dalam konteks kode etik profesi yang melekat pada status mereka. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, telah menyatakan bahwa ASN dalam menjalakan profesinya harus berlandaskan pada kode etik dan kode perilaku. Apabila dibaca secara menyeluruh pasal a quo.
Sebagai bentuk implementasi prinsip yang dimaksud adalah melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab dan berintegritas tinggi, sebagaimana yang termaktub pada Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.
Tujuannya untuk dapat menjaga marbatabat dan kehormatan ASN sebagai penyelenggara pemerintah. Namun, faktanya tidak demikian.Oknum pungli justru banyak lahir dari ASN (tidak secara keseluruhan), sehingga para pihak yaitu masyarakat ataupun badan usaha memiliki dampak berupa kerugian, apabila tidak mematuhi atau memberikan pungutan liar yang sudah diatur oleh oknum ASN yang tidak bertanggung jawab.
Dampak tersebut antara lain seperti, biaya ekonomi yang tinggi, menimbulkan kesenjangan sosial ataupun yang paling sering terjadi adalah berlarut-larutnya proses perizinan yang dilakukan oleh otoritas yang bersangkutan.
Sebagai masyarakat, tentu akan bertanya-tanya, upaya apa yang dilakukan demi mengentaskan para ‘penambang’ uang illegal ini.
Secara struktural, Pemerintah sebaga otoritas tertinggi berserta dengan stakeholdernya merupakan garda terdepan untuk memberantas kegiatan pungutan liar ini.
Walaupun demikian, korelasi antara keterkaitan oknum ASN sebagai pungli dan Pemerintah memiliki hubungan inklusif (patut diduga). Lantaran, hingga saat ini, penyelesaian pungli dilapangan cenderung tebang pilih atau hanya sekedar memenuhi perintah atasan. Istilah lainnya ‘Asal Bapak Senang’ atau disingkat ABS.
Bila berpandangan pada kacamata hukum, tindakan yang dilakukan para oknum dapat dijerat dengan sanksi pidana. Pada aspek pidana, pungutan liar secara jelas bukan merupakan ketentuan yang dilegalkan oleh norma apapun. Dengan demikian, berpotensi besar demi kepentingan dompet para oknum tersebut.
Pasal 368 dan 423 KUHP dapat menjerat para oknum pungli tersebut. Pada pasal 368 KUHP mengatur tentang perampasan, yang secara sederhana diartikan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang bukan merupakan haknya dengan sanksi pidana penjara 9 tahun.
Sedangkan pada Pasal 423 KUHP menerangkan pada subjek jabatan, yang menyatakan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang bukan merupakan haknya dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa orang untuk melakukan sesuatu, dengan sanksi pidana penjara 6 tahun.
Kedua pasal pada KUHP tersebut sangat demikian dapat diterapkan secara lex generalis (secara umum), tetapi karena demikian erat hubungannya dengan ASN selaku oknum tindak pidana pungli, maka secara lex specialis (secara khusus) Undang-Undang Tipikor dapat diterapkan dengan menggunakan Pasal 11 dan/atau Pasal 12 huruf a UU Tipikor untuk dapat menjerat para oknum ASN yang melakukan tindak pidana pungli.
Tidak cukup sampai disana, upaya administratif dapat dilakukan oleh masyarakat demi mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana pungli yang terjadi pada sektor pelayanan publik. Dengan lebih berorientasi pada pendekatan preventif dan responsif.
Seperti mengajukan laporan kepada Lembaga Ombudsman dengan adanya tindakan Maladministrasi non prosedural oleh sektor pelayanan publik, sebagai akibat perbuatan pungli.
Dan/atau mengajukan gugatan kepada PTUN atas dasar perbuatan melawan hukum oleh penguasa sebagai objek sengketa.
Dengan legal reasoning tidak mengindahkan prinsip-prinsip Good Governance sebagaimana yang termaktub pada pemenuhan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pemerintah sebagai organ bertanggung jawab dalam memberantas agenda koruptif berupa pungutan liar, perlu melakukan skenario yang lebih peran dan komperhensif dengan melakukan supervisi terhadap beberapa lembaga penegakan hukum tertentu seperti Kejaksaan, Kepolisian RI dan KPK, hal ini dimaksud untuk tidak membebani masyarakat.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara jelas telah menerangkan bahwa kewajiban negara (representatif pemerintah) adalah memberikan kepastian hukum tanpa pandang bulu, artinya pungutan liar yang dilakukan oknum manapun harus ditindak tegas sebagai bentuk upaya memberantas agenda koruptif di lingkungan masyarakat.
Dengan demikian, negara harus hadir ditengah-tengah problematika hukum di masyarakat.
Penulis Muhammad Alfarizzi Nur adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang memiliki minat pada bidang penulisan opini dan artikel hukum media massa.
Komentar