Bandar Lampung, (Metropolis.co.id) – Sejarah peran para santri, terutama yang diwakili oleh figur Hadratus syeikh, dalam konteks politik dan agama di Indonesia merupakan cerminan kompleksitas hubungan antara keagamaan dan politik.
Keputusan NU (Nahdlatul Ulama) untuk bergabung dengan Masyumi, sebuah kelompok dengan orientasi garis keras, tampaknya mencerminkan strategi yang diharapkan dapat membawa perubahan dan rekonsiliasi dalam kalangan umat Islam.
Dalam konteks sejarah Indonesia, banyak ulama dan tokoh agama seperti Hadratus syeikh memiliki peran yang signifikan dalam membentuk identitas dan kebijakan politik umat Islam. Pada saat itu, keputusan NU untuk bergabung dengan Masyumi mungkin diambil dengan niat baik untuk mencoba mempengaruhi kelompok garis keras agar menjadi lebih moderat. Namun, keberhasilan strategi ini sangat tergantung pada bagaimana metodenya diimplementasikan dan bagaimana kedua kelompok tersebut dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Bergabungnya kelompok moderat dengan kelompok yang tidak moderat memang bisa menjadi suatu strategi untuk mencoba membawa perubahan. Namun, hasilnya sangat tergantung pada sejauh mana dialog, pendidikan, dan persuasi dapat memengaruhi pandangan dan sikap kelompok yang tidak moderat. Proses ini seringkali membutuhkan waktu dan kesabaran yang besar, serta dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan.
Penting bagi kita untuk mencatat bahwa bergabungnya kelompok moderat dengan kelompok garis keras tidak selalu menghasilkan hasil yang diinginkan. Terkadang, hal ini justru dapat merusak citra dan nilai-nilai moderat karena terlibat dengan kelompok ekstrem. Oleh karena itu, metodenya harus dipertimbangkan dengan cermat dan memerlukan dialog terbuka serta pendekatan yang inklusif.
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa agama seharusnya tidak diperalat untuk kepentingan politik. Agama adalah urusan pribadi dan spiritual, dan kebijakan politik seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bagi semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan. Penggunaan agama untuk kepentingan politik seringkali memicu konflik dan memperkeruh suasana politik.
Kemudian, penggunaan agama untuk tujuan politik selalu menjadi isu yang sensitif. Agama seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk perdamaian, keadilan, dan toleransi, bukan untuk memperoleh kekuasaan politik semata. Eksploitasi agama untuk kepentingan politik dapat merusak esensi ajaran agama itu sendiri dan menciptakan konflik di masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemimpin agama untuk memastikan bahwa nilai-nilai keagamaan digunakan sebagai landasan untuk membangun kedamaian, toleransi, dan harmoni dalam masyarakat, bukan untuk memecah belah atau merongrong stabilitas politik. Dalam hal ini, pendidikan, dialog antar agama, dan promosi nilai-nilai toleransi sangat penting untuk mencapai masyarakat yang inklusif dan harmonis.
Selamat Hari Santri! Jihad Santri Jayakan Negeri
Humas UIN-RIL
Komentar