Jakarta, (Metropolis.co.id) – Gelombang besar pengungsi Rohingya mendarat di kawasan Provinsi Aceh akhir November 2023 lalu. Selain ke Indonesia, etnis Rohingya juga melakukan pengungsian ke berbagai negara.
Bangladesh menjadi negara paling banyak menampung pengungsi yakni sekitar 969.719 orang per 30 November 2023. Menurut data UNHCR atau United Nations High Commissioner for Refugees di Indonesia tercatat lebih dari 1.500 pengungsi Rohingya datang dengan perahu tua.
Memangnya kenapa mereka mengungsi ke negara lain? Dan siapa yang dimaksud dengan Rohingya? Yuk temukan jawabannya dalam artikel berikut ini.
Siapakah Etnis Rohingya Itu?
Rohingya merupakan kelompok etnis minoritas beragama Muslim asal Myanmar. Mayoritas kelompok ini telah tinggal di wilayah Rakhine, Myanmar selama berabad-abad.
Namun, dilansir dari laman BBC News, pemerintah Myanmar enggan mengakui kewarganegaraan Rohingya bahkan mengecualikan mereka dari sensus tahun 2024.
Negara dengan mayoritas penduduk beragama Budha, ini menolak mengakui Rohingya sebagai suatu bagian dari mereka dan menggap Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Pada tahun 2017, tercatat masyarakat Rohingya di Myanmar berjumlah sekitar satu juta jiwa. Mereka dikenal memiliki budaya dan bahasa sendiri. Mereka mengaku sebagai keturunan pedagang Arab dan kelompok lain yang telah berada di wilayah Myanmar selama beberapa generasi.
Sejak tahun 1970-an, etnis Rohingya telah bermigrasi ke seluruh wilayah dalam jumlah yang signifikan karena mendapat tindakan diskriminasi.
Mereka pun mengalami tantangan seperti kekurangan makanan, air bersih, hingga akses layanan kesehatan sehingga ribuan warga Rohingya melakukan perjalanan berbahaya untuk keluar Myanmar.
Latar Belakang Rohingya Sejak Kependudukan Inggris
Masyarakat muslim telah lama tinggal di wilayah Arakan (sekarang: Rakhine). Pada tahun 1785, Arakan dikuasai oleh Bamar yaitu kelompok etnis dominan di Burma (Myanmar).
Dikutip dari laman Rohingya Culture Center, pendudukan Burma di Arakan kerap menindas sehingga ribuan warga Rakhine dieksekusi dan banyak yang dideportasi ke Burma tengah.
Akibatnya, pada tahun 1799, sebanyak 35.000 orang melarikan diri ke Benggala Britania untuk menghindari penganiayaan kelompok Bamar. Oleh karena itu, istilah “Rohingya” tercatat lebih awal muncul dalam literatur Inggris.
Francis Buchanan-Hamilton, seorang dokter dan ahli geografi Inggris, dalam artikel yang terbit pada tahun 1799 menyatakan, “Orang Mohammedan yang telah lama menetap di Arakan, menyebut diri mereka Roohinga.”
Penyebutan ini tidak hanya membuktikan bahwa ada minoritas Muslim asli di Arakan yang bernama Rohingya, namun juga membedakan mereka dari mayoritas penduduk Rakhine yang beragama Buddha.
Sejak tahun 1823, ketika Burma berada di bawah kekuasaan Inggris mayoritas penganut Buddha merasa tidak didukung dan terancam. Sentimen anti-kolonial Buddha membuat Inggris lebih memilih Muslim untuk posisi administratif.
Identitas awal orang Burma sebagai penganut Buddha, dan menganggap Burma sebagai rumah mereka menjadi bahan bakar nasionalisme yang mendorong gerakan Kemerdekaan Burma di kemudian hari.
Ketika terjadi Perang Dunia II, Jepang menginvasi Burma berhasil memukul mundur Inggris ke India. Kaum nasionalis Burma pun menyambut kedatangan Jepang.
Sementara etnis Rohingya pro-Inggris mengingat dukungan Inggris yang mereka terima selama masa kolonial.
Akibatnya, terjadi kekerasan antara warga Rakhine yang beragama Budha dan warga Muslim Rohingya. Lebih jauh lagi, Jepang menindas etnis Rohingya karena sikap mereka yang pro kepada Inggris.
Lebih buruk lagi, Inggris juga mempersenjatai Muslim Rohingya untuk menciptakan penyangga terhadap Jepang, yang berkontribusi terhadap kekerasan tersebut.
Setelah mendapatkan kemerdekaan di tahun 1948, pemerintah Burma menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara yang sah.
Akibatnya, muncul gerakan dari Muslim Rohingya untuk bergabung dengan negara Pakistan yang baru terbentuk.
Pemerintah Burma yang pada saat itu ada di bawah kendali Jenderal Ne Win, melakukan beberapa operasi militer terhadap Rohingya dan menyebabkan migrasi besar-besaran Rohingya ke berbagai negara.
Pencabutan Kewarganegaraan Rohingya
Pada tahun 1982, pemerintah Burma memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan yang hanya mengidentifikasi 135 kelompok etnis.
Mereka menetapkan etnis-etnis tersebut berdasarkan penduduk yang telah tinggal di Burma sebelum tahun 1823. Oleh karena itu, Rohingya tidak menjadi bagian dari mereka.
Hal ini karena tahun 1823 merupakan tahun pecahnya perang Inggris-Burma untuk pertama kalinya. Setelah itu, Inggris mendorong banyak migrasi ke Burma sehingga penduduk yang berada di bawah kependudukan Inggris bukanlah penduduk asli Burma.
Dengan adanya Undang-Undang Kewarganegaraan, pemerintah Burma menetapkan kewajiban untuk memiliki kartu registrasi nasional yang bisa didapatkan melalui proses naturalisasi.
Namun, diperlukan bukti bahwa keluarga orang tersebut harus tinggal di Myanmar sebelum tahun 1948 dan fasih menggunakan salah satu bahasa nasional.
Akibat undang-undang tersebut, hak warga Rohingya untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, menjalankan agama, bahkan mengakses layanan kesehatan terus dibatasi.
Terlebih, pada tahun 2015 partai National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dengan mayoritas pendukung dari kelompok Buddha nasionalis memenangkan pemilu Myanmar.
Akibatnya, krisis kemanusiaan terjadi pada tahun 2017 dan menjadi sorotan internasional karena militer Myanmar menyerang warga sipil Rohingya.
Detik
Komentar