Gemilang Diluncurkan Sebagai Gerakan Sosial di Lampung

Blitar598 Dilihat


Bandarlampung, (Metropolis.co.id) –
 Di tengah dinamika perubahan zaman, pemuda-pemudi di Provinsi Lampung memegang peranan penting sebagai agen perubahan.

Generasi muda saat ini memiliki semangat dan pemikiran progresif yang merupakan potensi besar untuk membangun Lampung yang lebih maju dan sejahtera. Mereka bukan hanya penerus, tetapi juga pencipta masa depan yang lebih baik.

Pemikiran itu disampaikan Gilang Ramadhan, ketika meluncurkan organisasi nirlaba Gemilang di Daja Caffe, Bandarlampung, Sabtu, 17 Agustus 2024.

Gemilang, jelas pendirinya, Gilang Ramadhan didampingi Co Founder Rizki Apriadi merupakan singkatan dari Generasi Muda Indonesia Lampung.

“Ini adalah sebuah organisasi yang didirikan dan bertujuan untuk mengedukasi dan mendorong partisipasi aktif generasi muda dalam isu-isu politik dan sosial yang berdampak langsung pada masa depan,” kata Gilang.

Melalui Gemilang, lanjut dia, generasi muda Lampung diharapkan lebih melek politik, lebih aktif dalam aksi sosial, dan mampu berkontribusi dalam perubahan yang positif.

Selain diwarnai diskusi dan mempersiapkan serangkaian program kerja untuk kiprah-kiprah sosial kemasyarakatan, lounching Gemilang juga dimeriahkan oleh “Orasi Puisi Gemilang” oleh Paus Sastra Lampung, Isbedy Stiawan ZS.

Berikut isi puisi Isbedy Stiawan ZS.

ORASI PUISI GEMILANG

setiap diri membawa kampung

dan kebiasaan-kebiasaan adiluhung

leluhur, ke mana ia merantau

itulah tanda, mungkin juga marwah

–pesenggiri dalam bahasa Lampung—

maka, amat elok apabila terus digelorakan

apa saja yang telah jadi kesepakatan leluhur

selagi tak bertentangan dengan keyakinan

yang diantar oleh agama

itulah budaya – kebudayaan – di dalamnya

adat-istiadat yang juga membentuk manusia

memiliki ciri serta kekuatan bahwa manusia

dilahirkan dibesarkan oleh kebiasaan

yang dilihat dirasa maupun diajarkan sejak kecil

suku-suku serta adat-adat itu yang menjadikan

hidup berwarna namun tetap dalam persatuan

bukan satu! melainkan ragam yang menjadikan

taman terlihat indah. itulah seni; coba kita amati

sebuah lukisan, akan terlihat indah lantaran

perpaduan warna di sana. bacalah puisi, nikmati

rima bahasa yang menjadikan kalimat berirama

dan punya lagu. menerbangkan imajinasi sebab

di dalam puisi ada metafora, simbol, serta daya

yang membuat khayal kita melayang

juga musik, dengarlah dengan telinga yang

tidak tuli. bagaimana musisi membangun

suasana agar pendengaran, rasa, hati, imaji

kita seakan hendak mengikuti perjalanan irama

demikian pula; konstruksi rumah, bangunan untuk

ibadah, dan sebagainya. dibangun oleh rasa

yang memiliki nilai-nilai keindahan. bahkan, semesta

juga dicipta oleh Pencipta yang Mahakarya. tiada

setitik zarah pun ciptaan-Nya sisa-sia

bahkan fii ahsani taqwiim

–sebaik-baik ciptaan—

(ke)budaya(an) dan agama itu menetap dalam setiap diri

dan keduanya dibawa ke mana diri itu merantau. puisiku,

“Aku Tandai” sejatinya telah merekamnya. begini:

​aku tandai tahi lalatmu dari dunia kanak-kanak

​yang tak akan pernah terhapus bilangan

sampai hapal benar

aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal

tubuhku sendiri

dari akar dan batang rumputan yang pernah kita

petik dulu, kini telah pula jadi pohon:

menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai

menggores tanda di tubuhmu – tahi lalat itu – yang

senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau

ya. aku tandai tahi lalatmu yang masih kukenang dari

dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,

sebagaimana kita menyatu  dalam rumah tangga

besar. lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis

dalam hidangan di piring saat pagi dan petang

(Lampung, 2001)

puisi tersebut hendak menggambarkan betapa

“tahi lalat” sebagai penanda bagi kita

akan selalu terkenang dan dikenang. puisi ini,

sedikit-banyak terinspirasi pertikaian dua etnis

di Sampit pada 2001. bahwa ada yang diabaikan,

manusia tak mampu menandai manusia lainnya

baik sebagai penduduk bumi, sebangsa

dan setanah air: “kita menyatu dalam rumah tangga

besar’ bernama Indonesia. di dalam rumah tangga

itu manusia Indonesia saling bercakap, bahkan

menyantap hidangan yang sama, “saat pagi dan petang’

*

setiap diri membawa kampung-kampung

juga setia melekat dalam dirinya dari

ajaran yang diterima leluhur bernama agama

cermati, tentang bagaimana kolonisasi pertama

masuk daerah ini. bagelen. itu nama yang dipetik

dari nama daerah di Jawa – tepatnya di Kabupaten

Purworejo – dan hingga kini wilayah yang berada

di Kabupaten Pesawaran itu, jadi penanda

lalu, nama-nama lain dari nama daerah dan desa

di seberang, dibawa ke sini pada saat terjadi

transmigrasi semasa kepemimpinan Soeharto

tak pelak! ini juga kian diwarnai oleh saudaraku

dari etnis Bali, manakala mereka berdatangan

mengolah hidup agar lebih baik di daerah baru

sebagai “perantau” dengan membawa kampung

dan segala yang membentuknya di tanah asal

budaya – kebudayaan – memperkuat tatanan

hidup manusia. aku, kita, menjadi karena ada

budaya; ia yang membentuk kita. kita tahu

aturan-aturan baik maupun salah, halal-haram,

sebab agama yang menanamkan nilai-nilai itu

tapi, apakah aku sudah mengenal kebudayaan

yang membentuk diriku? apakah yang kuketahui

hanya permukaan; soal nilai diri dengan sebutan

“menjaga marwah” serta “merasa dilecehkan”

atau terjadi “penghinaan” atas adat? sementara,

nilai-nilai kebersamaan, persatuan, persaudaraan

dan sejenis itu, begitu sulit mengejawantah

dalam (ke)hidup(an) sehari-hari

mungkin, aku –kita—kerap gagap memaknai

Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 1928:

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku

bertumpah darah

yang satu, tanah air Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa

yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung

bahasa persatuan, bahasa Indonesia”

ya, bertanah air satu tanah air Indonesia,

berbangsa satu bangsa Indonesia

dan berbahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia

di sinilah, aku memaknainya bahwa Indonesia

yang satu, mampu memersatukan tiap-tiap

diri ini dengan diri-diri lainnya. objek kita

ialah bangsa, tentu tanpa meniadakan budaya-budaya

yang telah membentuk sejak buaian di rahim bunda

betapa pun aku berbeda pandangan, baik politik,

pilihan berpolitik, cara memandang kau di depanku

yang tak sehaluan dalam beragama; tak lantas

kita berbeda, apatah lagi “berpecah belah”. bahkan,

dalam soal kaya dan miskin, lalu “berseberangan”

dan saling tikai. kebudayaan, sekali lagi, sejatinya

dapat mempererat perbedaan-perbedaan yang ada

di padang kurusetra perpolitikan, meski dapat

memanaskan situasi semampunya dapat diredam

dengan cara, baragkali, kembali kepada sumpah

yang diikrarkan para pemuda di kala 1928 itu;

tiada yang lebih elok daripada persatuan

kebersamaan, persaudaraan, ukhuwah

di atas negeri dan tanah air Indonesia

kau boleh tak sama dalam urusan pilihan

aku juga boleh bersikap dalam urusan itu

tapi, kita bisa segera berpelukan seusai

pesta berlangsung. membangun terlalu

sulit dikerjakan, tinimbang meruntuhkan

bangsa ini sudah terlalu mahal membayar

persatuan-kesatuan, jelang-jelang reformasi

sebab 32 tahun kita dihipnotis oleh hanya

“bangunlah badannya” lalu lupa pada

“bangunlah jiwanya” (lagu “Indonesia

Raya”, ciptaan WR. Supratman)

pembangunan bertumpu hanya pada

kemolekan kota, bangunan ditinggikan,

jalan dilayangkan, dan sebagainya

sementara “membangun jiwa” bagi warga

negara ini kerap terabaikan. berapa persenkah

pelajaran kebudayaan (moral dan adab) sejak

sekolah dasar sampai perguruan tinggi?

adakah pengenalan tentang kebudayaan

atau istiadat di tanah pribumi, saat negara

memindahkan warga dari satu wilayah

ke lain daerah? barangkali, ya ini mungkin,

tiada. selain mereka yang mau bermigrasi itu

dibekali “pacul dan parang”. lalu, “olahlah

bumi yang baru ditempati itu…”

*

pada akhirnya, tiap diri membawa

kampung-kampung ke mana ia pergi

namun kampung terbaik ialah kampung

bersama, di bawah langit luas, dari pohon

yang satu, album bersama, meja besar,

rumah tangga besar. di sana,

“bercakap-cakap tentang terik dan gerimis/

dalam hidangan di piring saat pagi dan petang”

aku membayangkan, dan berdoa, suasana

damai, nyaman, tanpa huru-hara apalagi amok

segera datang dan kupeluk erat-erat

kita tak perlu lagi bawa badik, sekin, kapak

untuk menyelesaikan hal-hal yang justru merusak

tatananan sesanak; bahwa kita benar-benar bersaudara

telah berkorban bagi Indonesia merdeka,

hari kita rayakan. Segemilang-gemilangnya…*

Red

Komentar