Bandar Lampung, (Metropolis.co.id) – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Komite Aksi Masyarakat dan Pemuda untuk Demokrasi (KAMPUD) menyayangkan terkait adanya dosen yang berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) menjalankan profesi juga sebagai advokat, hal ini harus menjadi perhatian serius dan segera dilakukan upaya penegakan hukum atas perilaku ASN tersebut.
Demikian disampaikan oleh Seno Aji sebagai ketua umum DPP KAMPUD melalui keterangan persnya pada Selasa (31/12/2024) siang.
“Kita mengecam keras terhadap perilaku dosen ASN berinisial SP yang bertugas di Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila) yang berpraktik sebagai pengacara dan/atau advocat apalagi sebagai penerima kuasa terkait gugatan sengketa pilkada Pringsewu di PTUN dan MK hal ini jelas secara terang benderang Dosen ASN tersebut tidak netral dan memihak kepada salah satu kepentingan politik, kondisi ini telah melanggar UU tentang Aparatur sipil negara (ASN) pasal 12 menyatakan pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional dan bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme”, jelas Seno Aji.
Kemudian ASN pun, lanjut Seno Aji, memiliki kewajiban untuk melaksanakan nilai dasar ASN dan kode etik serta kode perilaku ASN, dengan demikian pegawai ASN yang tidak mentaati kewajiban tersebut telah memenuhi unsur yang dinamakan pelanggaran disiplin dan harus dijatuhi hukuman disiplin.
“Sebagai ASN dan insan akademik seharusnya dosen yang bersangkutan memahami nilai dasar dan kode etik ASN, namun justru perilaku yang diterapkan menyimpangi ketentuan yang berlaku, maka sudah sepatutnya Dosen ASN tersebut harus mendapat sanksi disiplin berat, pasalnya yang bersangkutan telah menjadi kuasa hukum atas kepentingan politik dalam pilkada di Pringsewu, dan Kita akan segera mengirimkan laporan resmi kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Presiden RI agar kiranya segera menindak tegas perilaku dosen ASN yang merangkap profesi juga sebagai pengacara dan membela kepentingan suatu politik praktis”, tegas sosok aktivis yang dikenal low profil ini.
Seno Aji juga menyayangkan pernyataan Dosen ASN berinisial SP yang dengan tegas menyatakan jika dirinya telah mengikuti PKPA dan lulus UPA, hal ini jelas menabrak ketentuan khususnya UU Advokat.
“Dalam konteks UU Advokat pasal 20 ayat (2), tentunya sebagai advokat dilarang untuk memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat”, imbuh Seno Aji.
Selain menyandarkan dengan UU tentang ASN, dan UU Advokat, Seno Aji juga mengkonstruksikan peristiwa Dosen ASN berinisial SP dan dosen ASN berinisial DPP menjadi pengacara dengan UU pemberantasan tindak pidama korupsi, sebab dengan adanya praktik beracara maka disinyalir ada transaksi kepentingan dan transaksi fee yang diperoleh oleh dosen ASN tersebut.
“Perlu disoroti juga adanya dugaan penerimaan fee, sebagaimana disinyalir dari peristiwa Dosen ASN FH Unila berinisial DPP yang menerima kuasa hukum terkait urusan ganti rugi lahan pembangunan bendungan Margatiga dengan fee sejumlah 15% dari uang ganti rugi (UGR) tahap pertama ditengarai oknum dosen FH Unila tersebut berhasil memperoleh fee sebesar Rp 3,4 miliar, tentunya penerimaan UGR oleh Dosen ASN ini telah memenuhi unsur-unsur perbuatan tindak pidana korupsi (Tipikor) sebagaimana tercantum dalam pasal 12 UU pemberantasan Tipikor bahwa, “dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000:
A. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya,
B. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya”, ujar Seno Aji sebagai ketua umum DPP KAMPUD.
Diakhir penjelasannya, pihaknya akan menyampaikan laporan resmi ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, selain menyampaikan laporan juga ke Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek.
“Tentunya, kita sebagai LSM akan meminta Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek memberikan sanksi disiplin berat kepada 2 oknum dosen ASN yang berpraktik juga sebagai pengacara tersebut, dan kita juga mendesak kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dan mengusut tuntas persoalan penerimaan fee tersebut, agar kiranya lembaga anti rasuah KPK RI segera mengusut kasus ini, dan kita akan mendukung dengan menyampaikan laporan secara resmi”, pungkas Seno Aji.
Diberitakan sebelumnya, seperti dilansir dari sejumlah media bahwa selain aksi “bermainnya” dosen ASN berinisial DPP dalam urusan ganti rugi proyek Bendungan Margatiga, Lampung Timur, ditangani, terungkap fakta baru bila bukan hanya dosen itu saja yang “beracara”.
Dosen FH Unila selain DPP yang diketahui berpraktik sebagai kuasa hukum adalah Dr. Satriya Prayoga, SH, MH. Pria kelahiran 23 Juni 1982 ini menjadi PH Cabup Pringsewu Adi Erlansyah saat menggugat KPU ke PT-TUN di Palembang, dan kabarnya juga di MK.
Benarkah dosen berkeahlian hukum administrasi negara itu “beracara”? Dikonfirmasi Sabtu (28/12/2024) pagi, Dr. Yoga -panggilan bekennya- tidak menampik.
Apakah dengan “beracara” tidak melanggar UU ASN? “Saya kan menjalankan tri dharma pendidikan. Selama tidak ada larangan, berarti boleh,” tegas Dr. Yoga sambil menambahkan dirinya sudah mengikuti PKPA dan lulus UPA.
Dikatakan oleh alumnus FH Unila strata 1 dan 2 dengan gelar Doktor dari Universitas Sriwijaya, Palembang, tahun 2023 itu, bahwa hukum acara sengketa pilkada benar-benar berbeda dengan hukum acara di pengadilan lainnya.
“Makanya diperlukan bagi masyarakat memahaminya dulu, seperti saya akademisi banyak-banyak mendalami dan memperbaikinya. Nanti kalau sudah sempurna sistem acaranya, baru dipublikasi,” tuturnya lagi melalui pesan WhatsApp.
Red
Komentar