Imbauan Dewan Pers Jadi Senjata

OPINI1084 Dilihat

Marak soal pihak kantor pemerintahan dan swasta memajang imbauan Dewan Pers soal larangan meminta THR, selain tak patut sebaran itu juga melukai wartawan seolah wartawan tukang meminta-minta.

Keresahan pengusaha dan kantor perusahaan menjelang hari raya idul Fitri memang jadi hal klasik dan pelik, namun tak patut pula bila sebaran itu jadi senjata untuk merendahkan profesi wartawan.

Wartawan sebenarnya sudah memiliki saluran untuk menghidupi dirinya secara terhormat, tak perlu lagi instansi dan perusahaan capak-capek menempel imbauan.

Bila dia pengusaha media tentu sudah ada kerjasama dengan perusahaan pemakai jasa iklannya, pemerintahan yang memerlukan media sebagai etalase pembangunan daerah, begitu juga sahabat pengusaha sebagai mitra.

Semua terkonsep dan tertuang dalam MoU tanda kerjasama, kesepakatan yang jelas menentukan mana hak tagih dan mana tanggungjawab hak siar publikasi sebagai take and give.

Pun bila dirinya sebagai wartawan, tentu sudah diberi uang gaji, bahkan THR oleh perusahaanya.

Melulu wartawan, seburuk itukah kami ?

Dalam konteks pengusaha media dan wartawan pencari berita, semua bernaung pada organisasi masing-masing semua mejaga diri dan anggotanya, ada AD-ART ada juga KEJ dan Kode Prilaku Jurnalistik.

Dalam penindakan dan aturan organisasi yang diakui Dewan Pers begitu tegas, bila ada anggotnya yang melanggar KEJ, berbuat keji diluar kepentingan berita untuk masyarakat akan disanksi bahkan banyak yang dicopot sebagai anggota.

Jadi jangan takut akan wartawan, sebagai peminta-minta, semua sudah ada aturannya, semua patuh pada imbauan itu tanpa perlu dipajang-pajang sebagai tameng.

Yang perlu disangka adalah bagaimana mereka yang mengaku-ngaku, nah inilah yang tidak bisa ditindak organisasi mereka tidak tergabung siapa yang mau menegur, patutnya hanya ‘ditertibkan’ dan dipidanakan bila melanggar hukum.

Sekarang banyak oknum mengaku wartawan, print surat tugas dan cetak id card 10 ribu rupiah sudah berasa wartawan padahal kompetensinya tidak ada.

Bahkan celakanya mereka tidak sedang beroproses untuk menuju kompeten, sebab tak memiliki guru seperti redaktur dan pimpinan redaksi, semua dia borong ya Pimpret ya Pimprus ya redaksi ya wartawan dengan modal akte notaris untuk mendiklare dia pemilik media sehingga sahih baginya.

Belakangan juga terkuak keresahan masyarakat itu, bahkan ramai tersiar diberbagai media nasional bahwa jelang lebaran banyak oknum ormas dan oknum LSM telah begitu lihai bersilaturahmi, yang kemudian dianggap meresahkan oleh pengusaha.

Atas dilema ini, penulis secara pribadi meminta agar masyarakat tercerahkan, tidak asal cap, bahwa wartawan itu buruk, karna tak melulu tukang video itu wartawan, pun penulis belum tentu juga ia wartawan.

Yang jelas wartawan itu adalah jurnalis yang secara rutin mencari, memproduksi dan menayangkan berita sebagai informasi pada masyarakat, bukan peminta-minta THR.

Selamat Berpuasa, Tabikpuuun…..

Komentar