Pegiat Sosial Dapat Membuat Konten Yang Bersifat Edukatif

Nasional313 Dilihat

MEDAN, (Metropolis.co.id) – Hari Pers Nasional/HPN (yang diperingati setiap 9 Februari) tampaknya menjadi momentum untuk mengembalikan marwah idealisme bagi wartawan dan pegiat media sosial untuk membuat konten yang memberikan nilai edukasi, yang memberdayakan, yang membawa inspirasi, dan pencerahan bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan misi HPN 2023 yang mengusung tema: Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat.

Menghadapi maraknya penggunaan media sosial maka Panitia HPN Sumatera Utara 2023 bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) dan dibantu Dinas Perpustakan dan Arsip Daerah Provinsi Sumatera Utara menyelenggarakan kegiatan pelatihan jurnalistik yang bertajuk Workshop Literasi digital: Media Sosial dan Entrepreneurship Untuk Generasi Milenial, Selasa, 7 Februari 2023.

Workshop yang digelar di Aula FISIP Kampus USU Medan bertujuan agar wartawan dan pegiat sosial dapat membuat konten yang bersifat edukatif, inspiratif,memberdayakan, dan mencerahkan masyarakat sehingga tercipta sebuah iklim informasi dan komunikasi melalui media sosial yang sehat.

Dalam paparannya, Ketua Prodi Ilmu Komunikasi FISIP USU, Mazdalifah menjelaskan, ketika kita berinteraksi melalui media digital sebaiknya kita juga memahami itu.

“Tidak bisa hantam kromo, suka-suka kita. Ternyata anda menggunakan Bahasa pasaran sementera disitu banyak orang-orang terdirik, yang sangat anti dengan Bahasa pasaran dan menganggap tidak sopan Bahasa pasaran itu,” ujar Mazdalifah.

Jadi, lanjutnya, kita harus menyesuaikan pada saat berinteraksi dengan memperhatikan hal tersebut, penggunaan Bahasa yang baik.

“Misalnya jika “bujur” dalam Bahasa Batak Karo itu disebut terima kasih, tapi dalam Bahasa Sunda bermakna lain, terkait dengan bokong. Itu tidak boleh disebut,” tuturnya.

Ketika berinteraksi di media sosial, terangnya, kita merasa hanya berdua. Padahal ramai, seluruh dunia tahu.

“Mohon dilihat dulu, dari kata-katanya, kemudian dari kebiasannya bertolak belakang atau tidak dengan kebiasaan orang-orang yang berbeda budaya, bangsa, suku. Kebanyakan kita suka lupa. Hal itu, yang perlu dijaga dan diperhatikan,” sebut Mazdadlifah yang juga Ketua Yayasan untuk Perempuan Kota Medan.

Dalam kesempatan itu, Ahmed Kurnia, Instruktur Sekolah Jurnalisme Indonesia PWI Pusat mengatakan, jika media tidak bisa menangkap problem yang ada di masyarakat, dia akan ditinggalkan.

“Ini tantangan buat kalangan pers, kalau tidak, akan digilas oleh netizen. Jadi, ini sebagai koreksi kepada teman-teman media, bahwa kalau anda tidak mampu menangkap denyut nadi persoalan yang ada di masyarakat akan ditinggal. Karena mereka tidak lagi akan membaca media dan beralih ke media sosial,” tutur Ahmed Kurnia.

Dikatakan Ahmed Kurnia, dalam penelitian terakhir menunjukkan bahwa sekarang orang sudah jenuh juga dengan media-media sosial yang konten-kontennya sehingga mereka mencari informasi yang penting itu kembali kepada pers.

“Dan itu sudah terlihat arus balik lagi ke media,” katanya.

Momentum ini, sambungnya, melalui Hari Pers Nasional (HPN) yang terkait dengan pers bebas, demokrasi dan bermartabat.

Lebih lanjut, jelasnya, pers itu banyak sekali jenisnya termasuk pers kampus.

“Kalau kita lihat pers kampus tidak semuanya dari kalangan mahasiswa murni, bahkan para dosen juga ikut terlibat dalam penerbitan, penyiaran, tergantung bentuk modelnya,” paparnya.

Apakah bisa menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)? Kurnia menjelaskan pasti bisa, karena keanggotaan itu sifatnya individu bukan berdasarkan medianya. Yang terpenting, katanya, menjaga Kode Etik Jurnalistik. Koridor itu yang harus dijaga.

“Kode Etik Jurnalistik ini adalah sebuah kesepakatan dari seluruh organisasi-organisasi wartawan yang ada di Indonesia,” jelasnya.

Red

Komentar