Rohingya, Tragedi Semenyih, dan Yahudi Pesek

Nasional1071 Dilihat

Jakarta, (Metropolis.co.id) – Ketika pada pertengahan Desember lalu kami menayangkan video ‘Cuplak-cuplik’ tentang nasib pengungsi Rohingya yang ditolak sebagian masyarakat di Aceh, muncul ratusan komentar bernada negatif. Ada yang menuding detikcom seolah telah menjadi antek UNHCR, hingga berbagai narasi kebencian terhadap pengungsi Rohingya.

Mereka disebut bertingkah karena membuang makanan bantuan rakyat Aceh. Jorok, bertindak kriminal, hingga seolah mereka hendak menguasai wilayah NKRI. “Tak lama kemudian setelah dapat tempat di Indonesia mereka akan dipersenjatai oleh USA,” tulis seorang netizen.

Absurd, tapi justru narasi semacam itu yang termakan dan menyebar luas di media sosial. Tak cuma orang awam. Sekelompok mahasiswa dari berbagai kampus seperti Al Washliyah, Universitas Abulyatama, Bina Bangsa Getsempena, STAI Nusantara dan Sekolah Tinggi Pante Kulu melakukan aksi usir paksa Rohingya di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh pada Rabu, 27 Desember. Sila ke-2 Pancasila sepertinya tak pernah lagi mereka baca. Tak heran bila banyak yang terkejut dan mengecam aksi mereka dengan menyebutnya sebagai ‘Yahudi pesek’ yang mengatasnamakan mahasiswa.

Ada pula yang mendukung aksi tak manusiawi para mahasiswa tersebut. Seorang Aceh bergelar doktor ilmu hukum menulis di media sosialnya bahwa, seharusnya etnis Rohingya yang jumlahnya jutaan jiwa itu bersatu padu membangun kekuatan untuk melawan ketimbang hidup terlunta-lunta sebagai pengungsi di banyak negara.

Dia dan para mahasiswa itu alpa bahwa sebagian rakyat Aceh pun pernah menjadi pengungsi. Meninggalkan rumah dan kampung halamannya ke daerah lain yang lebih aman bahkan hingga ke negeri jiran, Malaysia. Ada juga yang mencari suaka ke sejumlah negara di Eropa. Mereka lupa dengan Tragedi Semenyih, 26 Maret 1998.

Kala itu, Polisi Diraja Malaysia menyerbu kamp penampungan pengungsi asal Aceh di Selatan ibukota Malaysia, Kuala Lumpur. Kekerasan itu menyebabkan 24 orang pengungsi Aceh tewas akibat terkena peluru tajam. Puluhan lainnya luka-luka. Beberapa hari kemudian, sebanyak 545 pengungsi asal Aceh dideportasi secara paksa oleh pihak Malaysia.

Bila mau lebih jujur, sesungguhnya apa yang dialami etnis Rohingya jauh lebih memilukan. Pada 1948, pemerintah Myanmar menyatakan Rohingya sebagai keturunan Bengali dan menolak mengakui mereka sebagai etnis dan warga negara Myanmar. Tiga puluh tahun kemudian, pemerintah Myanmar di bawah kendali Jenderal Ne Win yang menggulingkan Perdana Menteri U Nu pada 1962, melakukan upaya genosida. Lewat Operasi King Dragon, sekitar 10 ribu orang Rohingya tewas dan lebih dari 200 ribu mengungsi ke Bangladesh.

Persekusi panjang tersebut kemudian memunculkan kelompok milisi di Myanmar yang beranggotakan sebagian minoritas Muslim Rohingya bernama Tentara Pembebasan Rohingya Arakan atau The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Mereka berpusat di Rakhine, negara bagian di wilayah utara Myanmar yang menjadi pusat Muslim Rohingya mengalami persekusi.

Lazimnya milisi, ARSA beberapa kali melancarkan serangan sporadis yang tidak tersusun matang. Namun pada 25 Agustus 2017, mereka menyerang 30 polisi dan markas tentara. Akibatnya militer Myanmar mencapnya sebagai teroris dan berupaya menumpas mereka secara massif. Etnis Rohingya pun terdorong mengungsi ke Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Menurut laporan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) tahun 2021, total terdapat 1,6 juta orang beretnis Rohingya yang mengungsi keluar dari Myanmar. Bangladesh menampung sedikitnya 800 ribu orang, Malaysia (182 ribu), dan Indonesia hingga pertengahan Desember ini cuma 1.600-an orang.

Namun tidak objektif juga jika hanya menyoroti isu pengungsi Rohingya yang kali ini ditolak sebagian masyarakat Aceh. Sebab di waktu-waktu sebelumnya, rakyat Aceh secara luas menyambut mereka dengan baik. Pada 1992, ulama-ulama Aceh yang tergabung di MUI menggalang bantuan untuk muslim Rohingya yang tertindas. Bantuan dikumpulkan lewat rekening koran Serambi Indonesia dan BPD Aceh. Terkumpul uang yang kalau dalam kurs sekarang kira-kira 20an juta.

Pada 2015, ketika banyak negara cenderung menghalau pengungsi, rakyat Aceh justru memilih menerimanya. Para pemuda yang tergabung dalam Garuda Keadilan berhasil menghimpun dana lebih dari Rp 24 juta untuk muslim Rohingya. Sikap semacam itu kemudian memicu pertemuan menteri luar negeri di Malaysia yang memutus untuk menerima pengungsi. Di akhir 2016 Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres 125/2016 tentang Pengungsi Luar Negeri, yang menjadi pedoman menangani pengungsi luar negeri.

Untuk dipahami, saat ini pengungsi terbanyak di Indonesia berasal dari Afghanistan, yaitu 6.663 orang. Dari Somalia 1.250 orang, Irak (614), dan dari Sudan sebanyak 483 orang. Pada pertengahan 1970-an hingga 1990an, Indonesia pernah menampung 250.000 pengungsi asal Vietnam di Pulau Galang, Batam.

Berkaca dari hal tersebut dan pengalaman masa lalu, idealnya yang ditempuh para mahasiswa bukan mengusir para pengungsi Rohingya. Mereka mestinya menuntut Pemerintah dan UNHCR untuk memfasilitasi pertemuan ASEAN dan pertemuan negara-negara para pihak Konvensi 1951 agar melihat langsung para pengungsi yang ada di Aceh.

Indonesia sebagai senior di lingkup ASEAN harus kembali mengambil inisiatif yang lebih tegas dan berani seperti pernah diperlihatkan Menlu Mochtar Kusumaatmadja terkait masalah Vietnam dan Kamboja di era 1980-an. Bahwa junta militer Myanmar harus secepatnya mengakhiri konflik sehingga dapat segera dilakukan repatriasi pengungsi atau pengembalian pengungsi ke negaranya.

Penting untuk menetralisir berbagai hoax di media sosial bahwa etnis Rohingya tidak akan selamanya di Aceh. Mereka hanya transit, sambil menunggu penempatan di negara ketiga oleh UNHCR. Pemerintah pusat maupun daerah tentu tetap memprioritaskan untuk melayani warganya sendiri. Adapun kebutuhan mereka itu dipasok oleh lembaga PBB IOM dan UNHCR. Di sisi lain, aparat harus secepatnya mengungkap siapa para pihak yang telah dengan sengaja mendesain dan menebar narasi kebencian terhadap pengungsi Rohingya.

detik

Komentar