Jakarta, (Metropolis.co.id) – Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menilai perlunya revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU 6/2014). Berdasarkan pandangannya, UU 6/2014 seharusnya tidak hanya mengatur desa, tetapi juga kelurahan. Ia mengatakan bahwa selama ini desa memperoleh pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disebut dana desa.
Namun, UU 6/2014 tidak menyebutkan dana kelurahan. Padahal, kata Muhadjir, desa dan kelurahan selalu dihadapkan pada permasalahan serupa.
Apa yang disampaikan oleh Muhadjir menggambarkan bahwa ia kurang memahami secara mendalam latar belakang terbitnya UU 6/2014. Berdasarkan catatan historis, peraturan perundang-undangan ini lahir antara lain karena munculnya keinginan pemerintah memberikan kedudukan istimewa bagi desa.
Selama ini desa seringkali disamakan dengan kelurahan dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Padahal, desa memiliki karakter yang berbeda dari keduanya. Itulah mengapa, pengaturan mengenai desa seharusnya dibedakan dengan pengaturan mengenai kelurahan. Pengaturan mengenai keduanya tidak bisa diatur dalam satu undang-undang.
Dikenalkannya asas rekognisi dan subsidiaritas sebagai asas utama dalam UU 6/2014 merupakan ikhtiar penyusun undang-undang untuk mengukuhkan keberadaan desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya menguatkan posisi desa melalui peraturan perundangan sebenarnya berangkat dari kenyataan bahwa selama ini desa selalu diposisikan tidak pada tempatnya.
Menurut Sutoro Eko (2025: 22), sejak Orde Baru negara menempuh cara modernisasi-integrasi-korporatisasi ketimbang rekognisi. Baik UU 5/1979, UU 22/1999 maupun UU 32/2004 tidak pernah menegaskan asas pengakuan dan penghormatan terhadap desa.
Berdasarkan sumber yang sama, banyak pihak mengatakan bahwa desentralisasi berhenti di kabupaten/kota, sementara desa hanya menerima sisa kewenangan kabupaten/kota. Dengan diterbitkannya UU 6/2014, apa yang dilakukan desa bukanlah residu kabupaten/kota.
Perbedaan Karakter
Desa merupakan susunan pemerintahan terkecil dan terendah yang berkaitan langsung dengan warga negara. Keaslian desa terletak pada otonomi dan tata pemerintahan berlandaskan hak asal-usul serta adat istiadat setempat. Desa dipimpin oleh seorang kepala desa berdasarkan pemilihan demokratis. Hak menjalankan roda pemerintahan yang melekat pada desa menjadikannya sebagai ujung tombak terlaksananya otonomi daerah.
Hal ini berbeda dengan kelurahan yang diposisikan sebagai wilayah administratif di bawah kecamatan. Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Berlainan dengan desa, hak mengatur wilayah yang dimiliki kelurahan cukup terbatas.
“Hak mengatur” yang dimiliki kelurahan semakin hilang setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peralihan status kelurahan dari perangkat daerah menjadi perangkat kecamatan tak terlepas dari berubahnya dasar hukum penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang semula Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Seiring dengan perubahan secara yuridis di atas, terjadi perubahan-perubahan mendasar terkait kelurahan. Sebelumnya, kelurahan berwenang menyusun perencanaan karena menjadi organisasi perangkat daerah yang mandiri.
Namun, sejak tahun 2015, kelurahan tidak lagi menjadi perangkat daerah, tetapi merupakan representasi dari perangkat kecamatan. Imbasnya, kegiatan-kegiatan di lingkup kelurahan bukanlah domain lurah, tetapi lebih banyak ditentukan oleh camat.
Kondisi demikian barang tentu kurang menguntungkan bagi aparatur kelurahan maupun masyarakat yang tinggal di wilayah kelurahan.
Selain itu, terdapat perbedaan mendasar antara kepala desa dengan lurah. Kepala desa mempunyai kewenangan dasar sebagaimana kepala daerah otonom lainnya, semisal penyusunan aturan; pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa; pengelolaan APBDes, pengelolaan aset dan keuangan desa; pengembangan sumber pendapatan desa, serta pengusulan pelimpahan kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Adapun lurah hanya menjalankan tugas administratif kabupaten/kota yang dilimpahkan oleh camat sebagai kepala wilayah administratif di bawah kabupaten/kota.
Kepentingan Elektoral
Digelontorkannya dana desa ke setiap desa selama beberapa tahun terakhir pada dasarnya merupakan amanat undang-undang. Kepala desa beserta jajarannya memperoleh mandat menggunakan dana desa untuk membangun desa sekaligus mengembangkan kehidupan masyarakat desa.
Meskipun dalam praktiknya tidak sedikit kepala desa terjerumus di penjara lantaran penyalahgunaan dana yang bersumber dari APBN tersebut, tetapi pemanfaatan dana desa untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus kualitas hidup masyarakat desa benar-benar menemukan relevansinya.
Diwujudkannya dana desa merupakan konsekuensi diterapkannya asas rekognisi dalam UU 6/2014. Suatu kekeliruan apabila ada segelintir orang atau kelompok tertentu yang menilai tidak adanya dikotomi spasial antara dana desa dengan dana kelurahan. Dengan demikian, munculnya tuntutan penataan dana kelurahan melalui peraturan perundang-undangan tersebut barang tentu merupakan kesalahan fatal.
Bagaimanapun, desa dan kelurahan memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda. Terdapat banyak aspek yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dalam catatan historis, dana kelurahan merupakan dana yang bersumber dari APBN dan masuk dalam pos dana alokasi umum (DAU) tambahan. Dikucurkannya dana yang sempat dianggarkan dalam APBN 2019 dan 2020 ini ditujukan untuk kegiatan pembangunan sarana dan prasarana kelurahan serta kegiatan pemberdayaan masyarakat kelurahan. Pada dasarnya mekanisme pengalokasian dana kelurahan melalui DAU tambahan memiliki sensitivitas yang tinggi bagi setiap kelurahan.
Berdasarkan total anggaran, dana kelurahan sejak lama didominasi oleh Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Sulawesi. Itulah mengapa, cukup wajar apabila politik anggaran dana kelurahan diduga kuat merupakan instrumen untuk mendongkrak partisipasi elektoral masyarakat perkotaan dalam memilih kembali (re-elect) kandidat petahana, terutama di tiga pulau yang padat penduduk tersebut.
Dalam konteks inilah, upaya menyelamatkan dana kelurahan dari kepentingan politis menjelang pemilu menemukan urgensinya. Apalagi, keberadaan para lurah rentan dimanfaatkan oleh kaum elite politik untuk melanggar netralitas pemilu. Hal ini dikarenakan mereka bekerja di tengah masyarakat dan memiliki akses langsung dalam kehidupan masyarakat.
Tugas, fungsi, dan wewenang lurah dalam perizinan, penyaluran bantuan sosial, serta pembinaan organisasi masyarakat memungkinkan mereka untuk menyalahgunakan dana kelurahan.
Riza Multazam Luthfy peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (Puskolegis) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabay; penulis buku “Potret Legislatif Desa Pasca Reformasi” (2014)
detik
Komentar