BPJS, Rohan, dan Rojali: Opera Sunyi di Negeri yang Ramai Tapi Sepi

OPINI109 Dilihat


Oleh : Penta Peturun (Staf Khusus Menteri Ketenagakerajaan RI)

Di pusat perbelanjaan besar di pinggiran Jakarta, lampu neon memantulkan cahaya ke lantai marmer. Musik pop mengalun. Aroma kopi mahal bercampur wangi parfum pengunjung.

Rombongan anak muda bergelak tawa memotret minuman di meja. Tak jauh, ibu-ibu mencoba sepatu, menanyakan harga, lalu mengembalikan ke rak. Mereka keluar tanpa kantong belanja.

Fenomena ini dikenal di jagat maya sebagai “BPJS”, – Bujet Pas-pasan Jiwa Sosialita – . Dua perilaku lahir darinya, Rohan (rombongan hanya nanya-nanya) dan Rojali (rombongan jarang beli).

Bagi sebagian orang, ini candaan. Bagi angka-angka BPS dan OJK, ini sinyal sosial-ekonomi yang serius.

Fakta dan Angka

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2025, 7,28 juta orang menganggur (Tingkat Pengangguran Terbuka 4,76%). Pada Maret 2025, 23,85 juta jiwa atau 8,47% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Di Papua Pegunungan, kemiskinan mencapai 30,03%.

Lebih dari separuh kelompok ini berpendidikan rendah. Survei OJK – BPS 2025, literasi keuangan hanya 43-55% untuk lulusan SD atau tak sekolah, jauh di bawah lulusan perguruan tinggi (90-99%).

Pengangguran 7,28 juta jiwa (BPS, Feb 2025), Kemiskinan 23,85 juta jiwa (BPS, Mar 2025), Tingkat kemiskinan tertinggi Papua Pegunungan 30,03%, Upah buruh rata-rata Rp 3,09 juta/bulan (BPS, Feb 2025), Literasi keuangan SD/tak sekolah 43-55% (OJK, 2025), dan Pertumbuhan fintech lending 17% per tahun (OJK, 2025).

Gaya Hidup dari Tepi Jurang

BPJS bukan sekadar lelucon. Ini adalah gap antara aspirasi dan sarana. Media sosial membanjiri mereka dengan citra gaya hidup kelas menengah, kopi latte, sepatu bermerek, dan liburan singkat. Namun, pendapatan harian yang minim membuat mereka berdiri di pinggiran arena konsumen sejati.

Rohan menjadi strategi bertahan. Bertanya harga, mencari diskon, dan mencatat promo. Rojali adalah seni hadir. Duduk di kafe mahal, berjalan di mal premium, dan meninggalkan jejak di Instagram. Keduanya adalah konsumsi simbolik, menegaskan identitas sosial tanpa transaksi ekonomi.

Patologi yang Dipoles

Sosiolog Emile Durkheim menyebutnya anomie. Norma melemah, jalur antara tujuan dan sarana terputus. Robert K. Merton menyebutnya strain. Jurang antara tujuan budaya dan sarana legal.

BPJS adalah strain yang dibungkus cahaya neon mall. Belum tentu kriminal, tapi berpotensi menjadi patologi sosial. Mendorong utang konsumtif melalui paylater; menumbuhkan social envy; dan mengalihkan fokus dari kebutuhan pokok ke pencitraan.

OJK mencatat, kelompok berpendidikan rendah minim pemahaman bunga kredit. Dengan fintech lending tumbuh 17% per tahun, mereka adalah pasar empuk industri utang.

Marjinalitas yang Dirias

Dalam teori Marx, mereka lumpen proletariat. Dalam teori eksklusi sosial, mereka kelompok marjinal terpinggirkan dari pasar kerja, akses modal terbatas, tak punya representasi politik.

Kini marjinalitas dirias. Ekonomi, bekerja informal, upah di bawah rata-rata nasional. Sosial, hadir di ruang mewah sebagai latar. Budaya, mengadopsi simbol kelas atas tanpa kemampuan beli.

Media sosial menjadi panggung. Rojali di kafe mahal adalah performance membangun citra pribadi.

Perlu perluasan jangkauan gerakan produktivitas sejak usia pendidikan dini (misal; sebelum universitas) agar membentuk habit produktif.

Jejak kelembagaan Produktivitas, telah ada sejak Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1968 tentang Pembentukan Pusat Produktivitas Nasional. Dikuatkan melalui Perpres 1 Tahun 2023 tentang Lembaga Produktivitas Nasional.

Maksimalkan program Kemnaker RI tahun 2025 di seluruh sektor dengan tema “Indonesia Produktif”. Dirancang untuk membekali peserta dengan pengetahuan, keterampilan, dan inovasi terkini dalam dunia kerja.

Pemerintah harus mengakomodasi Inpres No 8 Tahun 2025 tentang kemiskinan ekstrem. Program kemenaker, pelatihan Kewirausahaan Tenaga kerja Mandiri (TKM) dan Padat Karya.

Justifikasinya menciptakan lapangan kerja di wilayah miskin ekstrem. Harus melibatkan sebagian warga yang miskin dan miskin ekstrem. Sesuai arahan Bapenas program dilakukan pemadanan data DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional).

Kemnaker di Balai Vokasi telah menyiapkan Modul Literasi Finansial. Sisi lain, OJK integrasikan di 1000 sekolah vokasi. Pajak Paylater, Wacana pajak transaksi kredit konsumtif di bawah Rp 5 juta.

Ini adalah lingkaran yang mengunci. Fenomena terikat dalam siklus. Pertama, pengangguran dan kemiskinan dari pendapatan rendah. Kedua, pendidikan rendah dengan literasi keuangan lemah.

Ketiga, tekanan gaya hidup dengan aspirasi tinggi. Keempat, BPJS behavior menjelma menjadi rohan dan rojali. Kelima minim modal ekonomi jadi tetap miskin. Tanpa intervensi, siklus ini akan diwariskan.

Jalan Keluar

“Kami keliling toko kosmetik, coba lipstik, tanya harga, terus foto-foto. Pulang cuma bayar parkir,” kata Mahasiswi di Jakarta. “Yang penting ada di Instagram,” ujar Pemuda di Lampung. “Buat story saja, biar teman tahu kita main ke sini,” ungkap ibu-ibu arisan di Bandung.

Masalah ini tak selesai dengan slogan. Butuh kebijakan konkret. Penyediaan lapangan kerja nyata di daerah pengangguran tinggi. Mendorong iklim usaha dengan memberi kemudahan dan fasilitas pada orientasi tuntas kemiskinan .

Literasi finansial di sekolah dan pelatihan kerja. Membuat produk inklusif entry-level untuk konsumen berdaya beli rendah. Memfasilitasi ruang publik gratis untuk memenuhi kebutuhan tampil.

Opera Sunyi

BPJS, Rohan, dan Rojali adalah lakon dari opera sunyi. Keramaian tanpa daya beli, sorak tanpa transaksi. Negeri membangun panggung, tapi lupa mengisi kantong penontonnya.

Para novelis mungkin akan menulis mereka sebagai tokoh yang hidup di antara reruntuhan mimpi dan kerasnya batu realitas. Penyair lampau akan mengajak melihat bahwa keindahan hidup bukan hanya di pandangan orang lain, tapi di hati yang damai.

Opera ini hanya akan berakhir jika setiap langkah ke mall punya peluang nyata untuk pulang dengan sesuatu yang lebih dari sekadar foto di feed media sosial.

Tabikk…

Komentar