Blitar, Metropolis – Aksi kekerasan terhadap jurnalis kembali mencoreng pesta demokrasi. Seorang wartawan senior, PRA (55), menjadi korban pengeroyokan oleh sekelompok preman di Jalan Merapi, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar, pada Selasa 26 November 2024. PRA mengalami luka lecet di dada, lebam di pipi kiri, dan pusing setelah dikeroyok oleh sekitar 10 orang.
Kejadian bermula saat PRA bersama sejumlah jurnalis lain hendak meliput dugaan praktik money politics yang dilakukan oleh tim sukses pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Blitar nomor urut 2, Syauqul Muhibbin dan Elim Tyu Samba (Ibin-Elim), di Dusun Mojo, Desa Plosoarang, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar.
Ketika melakukan peliputan, para jurnalis dihadang dan diintimidasi oleh beberapa preman yang berjaga di lokasi. Merasa terancam, rombongan wartawan memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut dan beristirahat di sekitar Jalan Merapi. Namun, saat sedang beristirahat, PRA menerima telepon dari seorang teman, PTS, yang tak lama kemudian datang bersama para preman tadi. Mereka langsung mengintimidasi dan menyerang PRA.
“Aksi pengeroyokan ini terjadi begitu cepat. Para preman yang marah karena kami meliput dan mau konfirmasi terkait dugaan money politics seperti yang ramai diberitakan sebelumnya. Mereka langsung memukul PRA tanpa alasan jelas,” ujar salah satu wartawan yang berada di lokasi.
Upaya merekam kejadian pengeroyokan tersebut juga mendapat ancaman. Para preman merebut ponsel milik wartawan yang mencoba mengabadikan momen kekerasan itu dan memaksa penghapusan video.
Kasus ini sudah dilaporkan oleh korban ke Polres Blitar Kota. Dalam laporannya, PRA meminta keadilan atas aksi kekerasan yang menimpa dirinya.
Perlu diketahui, berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tindakan menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai pidana penjara maksimal dua tahun atau denda hingga Rp500 juta. Namun, dalam insiden ini, tidak hanya kerja jurnalistik yang terhalang, tetapi juga terjadi penganiayaan fisik.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Blitar, Robby Ridwan, menyampaikan kecamannya atas insiden ini. Ia menilai, tindakan premanisme tersebut adalah ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.
“Kami sangat menyayangkan adanya aksi premanisme yang berujung penganiayaan terhadap wartawan dalam kegiatan peliputan. Ini bertolak belakang dengan UU Pers, di mana kerja wartawan dilindungi undang-undang. Menghalangi saja tidak boleh, apalagi sampai memukul,” tegas Robby.
Ia juga menyoroti fakta bahwa kekerasan tersebut terjadi saat para jurnalis sudah meninggalkan lokasi peliputan. “Ironis sekali, para wartawan sudah menjauh, tetapi mereka tetap dikejar dan diserang. Ini preseden buruk bagi demokrasi di Kota Blitar,” imbuhnya.
Robby meminta agar kasus ini segera dituntaskan oleh pihak kepolisian. “Aparat penegak hukum harus menyelesaikan kasus ini sesuai hukum yang berlaku. Jangan sampai kasus seperti ini dianggap remeh dan dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
IJTI Korda Blitar juga mengimbau para jurnalis untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Menurut Robby, penyelesaian kasus tersebut bukan hanya demi keadilan bagi korban, tetapi juga sebagai pembelajaran agar tidak ada lagi pihak yang menghalangi kerja jurnalistik di masa depan.
“Jika wartawan saja, yang jelas-jelas dilindungi undang-undang, masih menjadi korban kekerasan, bagaimana dengan masyarakat biasa? Ini harus menjadi perhatian semua pihak,” pungkasnya.
Kejadian ini menunjukkan perlunya evaluasi bersama oleh seluruh pihak terkait, khususnya dalam menjaga iklim demokrasi yang sehat dan bermartabat. Pilkada seharusnya menjadi pesta rakyat, bukan ajang kekerasan yang mencederai prinsip-prinsip demokrasi.
Polres Blitar Kota diharapkan dapat segera memberikan kejelasan terkait kasus ini agar keadilan dapat ditegakkan. Sementara itu, masyarakat pun diminta untuk terus mendukung kebebasan pers sebagai pilar utama demokrasi.
Red
Komentar