Efek Pajak Naik: Harga Motor Makin Mahal, Daya Beli Melemah hingga PHK

Nasional607 Dilihat

Jakarta, (Metropolis.co.id) – Pasar otomotif tahun 2025 dirasa semakin menantang lantaran pemerintah bakal menaikkan pungutan pajak. Praktis harga motor makin mahal yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, produksi melorot, yang paling parah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sejatinya potensi pasar roda dua di Indonesia masih menggiurkan buat para produsen. Namun jika konsumen kembali mendapat tambahan beban dengan naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen dan opsen pajak, pasar sepeda motor dikhawatirkan semakin tertekan.

“Kalau secara potensi market, kita itu potensinya besar. Pertama, jumlah penduduknya banyak. Densitas kepemilikan sepeda motor masih bisa digarap lagi. Kemudian, faktor keberadaan motor sebagai alat transportasi produktif itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat, ke mana-mana naik motor itu efektif, efisien. Melihat kondisi ini, market itu ada opportunity,” kata General Manager Corporate Communication PT Astra Honda Motor Ahmad Muhibbudin di Cikarang, Jawa Barat, belum lama ini.

“Hanya saja tahun 2025 banyak sekali tambahan-tambahan beban buat masyarakat mungkin ini bakal menjadi challenge sendiri buat industri otomotif,” tambah dia.

Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI) meramal efek penerapan opsen pajak khususnya bisa membuat pasar terkoreksi 20 persen.

“Namun karena faktor opsen pajak ini, kami khawatir pasar justru akan tertekan hingga 20% tahun depan, ” kata Ketua Bidang Komersial AISI Sigit Kumala, dalam keterangan resminya.

Melorotnya angka penjualan di pasar domestik berpotensi menimbulkan dampak bergulir yang terjadi di sisi hulu maupun hilir dari industri sepeda motor di Tanah Air.

Pertama, penurunan permintaan dari pasar akan memaksa produsen sepeda motor memangkas produksinya sehingga ini akan berdampak pada permintaan mereka ke industri suku cadang yang berada dalam rantai bisnis. Jika dampaknya sangat besar, tidak tertutup kemungkinan akan timbul PHK di industri ini.

“Kita coba berusaha, ini yang sedang kami pikirkan dari sisi produsen. Yang pasti kalau terjadi kenaikan, biasanya kita transfer kenaikan ke harga, yang dibebankan ke konsumen,” kata Muhib.

“Efeknya kalau konsumen tidak mampu membeli motor karena kenaikan harga itu, otomatis kita produksinya berkurang. Ngefek ke sisi hulu dan hilirnya. Hulunya produksi dikurangi, otomatis produsen pemasok mengurangi pasokannya, besar terjadi kemungkinan akan mengakibatkan pengurangan karyawan. Terjadi di semua level, baik itu pemasok tier 1, tier 2, sampai tier 3,” ungkap Muhib.

“Di sisi hilir, ini ber-impact ke industri pendukung, ada industri pembiayaan, industri asuransi, kalau barang yang dibiayai berkurang, otomatis kinerjanya terganggu,” jelas Muhib.

Kondisi pasar yang memberatkan konsumen dan pelaku industri ini berpotensi menekan daya saing industri di kancah ekonomi global, terutama di kawasan ASEAN.

Pasalnya, dalam situasi persaingan yang sama, negara tetangga yang tercatat sebagai salah satu pasar otomotif yang sedang tumbuh di ASEAN, justru mempertahankan kebijakan pengurangan PPN dari 10% menjadi 8% hingga Juni 2025. Sementara itu, Indonesia menambahkan PPN jadi 12%, ditambah kenaikan PKB dan BBNKB, dan pungutan tambahan pajak atau opsen.

“Jika ini semua diberlakukan dan dipertahankan dalam jangka panjang, kami khawatir daya saing industri kita melemah. Ini kurang positif untuk iklim investasi,” ungkap Sigit khawatir.

detik

Komentar