Indeks Kemerdekaan Pers Dirundung Pilu

Institusi, Nasional250 Dilihat
Indeks Kemerdekaan Wartawan Dirundung Pilu

Bandar Lampung (Metropolis.co.id) – Pasca merilis angka soal Indeks kemerdekaan pers di Provinsi Lampung dan Nasional, Dewan Pers juga menyampaikan beberapa faktor yang mempengaruhi kendali memburuknya kemerdekaan pers, sehingga menjadi ancaman baru ‘Fredoom For’ dalam Interst bisnis media.

Menurut Prof. Bagir Manan, tujuan mengukur Indeks Kemerdekaan Pers dengan segala variabel itu adalah untuk mengatur dan memperbaiki tatanan pers kita dalam berbangsa dan bernegara, jadikan segala kekurangan sebagai pelajaran dan bagian proses pendidikan untuk lebih baik.

“Ada dua fredom for yang turut mengancam kebebasan pers saat ini yaitu, dari internal pelaku pers, dan eksternal ‘tangan kekuasaan’ atau oleh masyarakat yang bentuknya menakut-nakuti, menekan dan berujung pada kekerasan,” ujar Prof Bagir Manan membuka sosialisasi dan dialog IKP di Hotel Horisson Lampung, kamis (29/11/2019).

Menyimak paparan dialek Bagir Manan, ancaman fredoom for internal yang dimaksud adalah, keadaan yang melekat dan mempengaruhi diri warga pers, atau lebih gamblang disebutnya ancaman dari pelaku media itu sendiri, salah satunya interest bisnis dan beberapa hal lain. yang dikhawatirkan dapat saja terjadi karena terciptanya ketergantungan.

“Independensi dapat terganggu bilamana kita memiliki ketergantungan, sering kali kepentingan usaha menjadi alasan, nah tidak mampunya pers membangun publik trust itu juga akan menghilangkan kemerdekan berkarya maupun kebijakan dalam dapur redaksinya,” sebutnya.

Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini juga menyebut, selain pelanggaran UU yang menurunkan indeks kemerdekaan pers, ada juga pelanggaran kebebasan etika yang tanpa disadari telah dilakukan oleh pelaku pers tersebut, padahal Pers yang bebas itu hakikat sesungguhnya pada cita-cita awal adalah agar kita bertanggungjawab.

“Kualitas SDM yang rendah juga menjadi alasan ke-tidaktahuan, sehingga sesukanya menerjemahkan kebebasan pers itu, padahal kita harus meningkatkan kapasitas sebagai warga pers. Pengetahuan itu menumbuhkan harga diri, pengetahuan itu menumbukan karakter sehingga akhirnya dapat menumbuhkan rasa tanggungjawab,” tegasnya.

Memaknai dari ucapan Prof Bagir Manan, Pelanggaran pelaku pers adalah, adanya golongan atau kelompok tertentu yang mengaku sebagai pers, tapi dalam tindakanya menciderai etos kerja profesi wartawan, seperti adanya ancaman, dugaan pemerasan, menakut-nakuti narasumber, sehingga muncul keluhan, lalu karena tak terbendung, keduanya saling berbenturan.

“Profesi berdiri diatas etika, jaga etika dan harga diri profesi untuk dapat membangun peradaban, pers itu layaknya menjadi pemandu penyelesai malsalah, bukan pembuat masalah baru. Karena dalam negara besar yang sedang berkembang ini, tugas pers besar sekali melalui atitude,” pesan ketua Dewan Pers Indonesia periode 2010—2013 ini dengan penuh harapan.

Berkaca pada keadaan pers saat ini, acap kali sebagian dari mereka (oknum) menganggap, cukup berbekal modal id-card sudah menganggap dirinya bebas, tanpa ada referensi ilmu jurnalistik, tidak mau berorganisasi, enggan mendapatkan edukasi jurnalistik (tidak mau update diri) dan cenderung menganggap diri eklusif sehingga tidak bertumpu pada garis yang jelas.

“Golongan atau kepentingan yang kecil itu masih sangat banyak, ini juga jadi komitment kita (Dewan Pers) untuk terus memotivasi, agar jangan sampai keluar dari kode etik sesungguhnya, sehingga tidak menjadi ‘Ilegal trusting’ atau bahasa lainya ialah terlalu melampaui tugas dan wewenangnya sebagai kontrol sosial,” tukas Bagir Manan mengakhiri diskusi.

Suasana dialog saat itu semakin hidup, bak gayung bersambut, pemaparan Prof. Bagir Manan saat itu diamini oleh moderator acara, yang juga berasal dari unsur pimpinan PWI Lampung bidang Pendidikan, Wira Hadikusumah, ia mengakui bahwa soal etik menjadi fundamental dasar yang harus sama-sama diperbaiki masyarakat pers.

“Kalau saya hubungkan dengan beberapa hasil safari jurnalistik PWI beberapa waktu lalu, guratan peristiwa dimaksud Prof.Bagir tadi benar adanya, sebagai contoh, dalam UKW terakhir yang digelar PWI Lampung, dari 30 peserta, tercatat hanya 20 saja yang berhasil meyandang predikat kompeten, lalu bagaimana dengan lainya ? ya itu tadi, beberapa pengakuan penguji, pemahaman kode etik  memang menjadi alasan,” katanya sambil memandu percakapan.

Menurut Pimpinan Rilis.id Lampung itu, ada hal lain yang menjadi dinamika sosial masyarakat saat ini, keuhan itu terungkap saat acara safari jurnalistik PWI lalu, terkait banyaknya  guru yang mengadu pada Ketum PWI Pusat, Atal S Depari, mereka (Guru) mengaku serba salah, bahkan takut dan tidak mau jadi Kepala Sekolah, karena takut dengan oknum wartawan.

“Ketika ditanya apa kesan pertama mereka (guru) terhadap wartawan, rata-rata jawaban mereka menyedihkan, seolah wartawan ini ‘penjahat’, malu kita berasa ditampar, hanya karena ulah oknum tak betanggungjawab,” demikian Wirahadikusumah.

Diketahui, hasil pemaparan dewan pers, secara umum Indeks kemerdekaan pers di Lampung menjadi catatan merah saat ini, karena hasil yang mengejutkan membuat Lampung harus bertengger menyandang predikat no 2 terburuk di-Indonesia setelah Papua, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi ada pada detil  sampling survey yang telah dilakukan dewan Pers.

Survey dilakukan sejak januari 2018 lalu,  dengan melibatkan 14 informan ahli dari kalangan pers, tokoh dan akademis, dalam bidang masalah yang di invetarisir  melalui variabel dependen, ada tiga fokus pendalaman yakni, linkungan politik, hukum dan ekonomi. Secara nasional IKP indonesia naik cukup bebas diangka 3,74, meningkt dari tahun lalu.

Putra

Komentar