Jakarta, (Metropolis.co.id) – Tiga majelis hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya yang mengadili Gregorius Ronald Tannur menjalani sidang perdana. Terungkap pula alur suap miliaran rupiah ke trio hakim ini demi membebaskan Ronald Tannur.
Para terdakwa itu akan diadili dalam kasus dugaan penerimaan suap terkait vonis bebas Ronald Tannur atas kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
Dilihat dari situs SIPP Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, sidang digelar hari ini dengan agenda pembacaan dakwaan. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (24/12/2024).
Ketiga hakim nonaktif itu adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Mereka didakwa menerima suap mengenai vonis bebas Ronald Tannur.
Sebagai informasi, kasus ini bermula dari jeratan hukum untuk Gregorius Ronald Tannur atas kematian kekasihnya yang bernama Dini Sera Afrianti. Ronald Tannur yang merupakan anak dari mantan anggota DPR Edward Tannur lalu divonis bebas meski kemudian di tingkah kasasi dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Tentang vonis bebas itu, usut punya usut, ternyata ada suap di baliknya. Kejaksaan Agung (Kejagung) sejauh ini menetapkan 6 tersangka sebagai berikut:
- Erintuah Damanik
- Mangapul
- Heru Hanindyo
- Lisa Rahmat
- Zarof Ricar
- Meirizka Widjaja
Tiga nama pertama merupakan majelis hakim yang mengadili Ronald Tannur di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Sedangkan Lisa adalah pengacara, Zarof merupakan mantan pejabat di MA sebagai makelar perkara, dan nama terakhir adalah ibu Ronald Tannur.
Alur perkara secara singkat yaitu Meirizka meminta bantuan Lisa agar anaknya, Ronald Tannur, divonis bebas. Lisa lantas berkomunikasi dengan Zarof yang kemudian dihubungkan ke 3 hakim yang mengadili Ronald Tannur di PN Surabaya hingga terjadilah dugaan suap menyuap tersebut.
Dalam perjalanannya, penyidik Kejagung menemukan uang Rp 920.912.303.714 (Rp 920 miliar) dan emas batangan seberat 51 kilogram dari Zarof yang diduga merupakan gratifikasi di luar perkara Ronald Tannur. Kejagung masih mengusut temuan itu.
Bagaimana pembelaan para terdakwa atas aliran dana suap ini? Baca halaman berikutnya.
Terdakwa Klaim SDB yang Disita Berisi Warisan
Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Heru Hanindyo, meminta agar safe deposit box (SDB) yang disita oleh Kejaksaan Agung dikembalikan. Heru mengatakan SDB itu berisi warisan dari orang tuanya, bukan gratifikasi.
Hal itu disampaikan Heru di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (24/12/2024). Heru didakwa menerima suap terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur atas kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti, serta gratifikasi selama menjabat yang ditemukan di SDB-nya.
“Di situ penyidik membuka SDB, kemudian tanpa memberitahukan dan tidak memberikan kepada kami yang mana di dalamnya, itu adalah ada surat-surat kepegawaian dari orang tua dan surat-surat kepegawaian saya, ijazah satu keluarga, orang tua dan kakak-kakak dan termasuk saya, kemudian surat-surat tanah,” kata Heru.
“Yang sampai dengan saat ini, saya pribadi tidak diberikan. Sementara itu, semuanya harta waris termasuk uang yang disebutkan,” sambungnya.
Heru mengaku tidak menerima berita acara penggeledahan yang dilakukan kejaksaan. Dia mengaku hal itu yang membuatnya sempat mengajukan praperadilan.
“Berita penyitaan penyegelannya pun tidak diberikan kepada saya maupun keluarga. Demikianlah yang disebutkan di dakwaan kumulatif. SDB itu adalah murni semuanya adalah harta waris,” ujarnya.
Heru mengatakan isi SDB itu, seperti surat tanah, ijazah, dan perhiasan, tidak diberikan kepadanya. Heru meminta majelis hakim memerintahkan jaksa untuk mengembalikan SDB miliknya.
“Sisanya tidak diberikan kepada kami. Surat-surat tanah, ijazah, perhiasan orang tua. Sekiranya bisa ditekankan para penuntut umum untuk kembalikan, karena itu semuanya adalah budel waris yang belum dibagi waris,” tuturnya.
Sementara itu, Hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik, menjelaskan terkait dakwaan penerimaan gratifikasi. Erintuah mengatakan uang sebesar Rp 97,5 juta yang disita sebagai dugaan gratifikasi bukan terkait kasus Ronald Tannur.
“Ada uang sebesar Rp 97,5 juta itu disita oleh penyidik ketika itu ada sebagian diambil dari dompet istri saya, uang belanja ada itu uang 50 ribu yang sudah saya simpan, uang baru, uang 100 ribu dan 50 ribu, uang baru-baru yang sudah saya simpan sejak saya bertugas di pengadilan Negeri Surabaya sejak tahun 2020. Itu disita jaksa nyatakan itu sebagai uang gratifikasi,” kata Erintuah.
Selain itu, Erintuah menjelaskan soal dakwaan penerimaan gratifikasi uang sebesar 35.992,25 RM. Erintuah mengatakan uang itu disiapkannya sejak 2015 saat masih di Pengadilan Negeri Medan untuk berobat.
“Nanti akan saya buktikan di persidangan, ada bukti-buktinya segala macam itu. Makanya ada sampai 25 sen-sen segala macam itu Pak. Nanti akan kita pertimbangkan,” ujarnya.
Alur Suap ke Trio Hakim
Alur penerimaan suap kepada trio hakim itu juga terungkap lewat sidang ini. Jaksa penuntut umum membeberkan alurnya.
Kasus ini bermula dari jeratan hukum untuk Ronald Tannur atas kematian kekasihnya Dini Sera Afrianti. Kemudian, Meirizka Widjaja meminta Lisa Rahmat menjadi penasihat hukum Ronald Tannur per 5 Oktober 2023.
“Dalam pertemuan tersebut, Lisa Rahmat meminta agar Meirizka Widjaja menyiapkan sejumlah uang untuk pengurusan perkara Gregorius Ronald Tannur,” kata jaksa.
Pada 25 Januari 2024, sebelum perkara Ronald Tannur dilimpahkan ke PN Surabaya, Lisa Rahmat menemui Zarof Ricar. Pertemuan itu bertujuan mencarikan hakim PN Surabaya yang dapat menjatuhkan vonis bebas kepada Ronald Tannur.
Selanjutnya, Lisa pun beberapa kali menemui Mangapul dalam rentang waktu Januari-Maret 2024. Pertemuan dilakukan di Apartemen Gunawangsa Tidar Surabaya dan menyampaikan ada perkara Ronald Tannur.
Kemudian, pada 4 Maret 2024, di Pengadilan Surabaya, Lisa memperkenalkan diri sebagai penasihat hukum Ronald Tannur kepada Erintuah Damanik. Lisa juga mengaku sudah bertemu dengan Heru Hanindyo dan Mangapul, yang akan menjadi hakim anggota. Padahal saat itu penetapan penunjukan majelis hakim belum ada.
Pada 5 Maret 2024, penetapan penunjukan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara Ronald Tannur pun terbit, dengan susunan Erintuah Damanik sebagai hakim ketua serta Heru Hanindyo dan Mangapul sebagai hakim anggota.
“Bahwa selama proses persidangan perkara pidana atas nama Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya, Terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul selaku majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara pidana atas nama Gregorius Ronald Tannur telah menerima uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu,” ujar jaksa.
Jaksa lalu menjelaskan pemberian uang itu. Pemberian pertama sejumlah SGD 140 ribu kepada Erintuah Damanik dari Lisa Rahmat yang dilakukan pada Juni 2024 di Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang.
Kemudian, uang tersebut dibagi dengan rincian Erintuah mendapatkan SGD 38 ribu, Heru Hanindyo dan Mangapul masing-masing mendapatkan SGD 36 ribu, serta sisa SGD 30 ribu disimpan oleh Erintuah. Uang itu dibagikan di ruang kerja hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Pada Juni 2024, Erintuah kembali menerima uang sebesar SGD 48 ribu di Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang. Lalu, pada Juli 2024, Heru Hanindyo menerima uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 120 ribu dari Lisa Rahmat di PN Surabaya.
“Bahwa Terdakwa Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo mengetahui bahwa penerimaan uang dari Lisa Rahmat adalah untuk memengaruhi majelis hakim agar menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan penuntut umum,” jelas jaksa.
Adapun uang yang diberikan Lisa Rahmat kepada tiga hakim itu berasal dari Meirizka Widjaja. Uang itu diberikan Meirizka secara tunai ataupun transfer.
Mulanya, pada 16 Oktober 2023, Meirizka Widjaja mentransfer uang sebesar Rp 500 juta kepada Lisa Rahmat. Lalu, pada 30 Oktober 2023, Meirizka Widjaja kembali menyerahkan uang tunai sebesar SGD 50 ribu.
Lalu, 5 Desember 2023, Meirizka kembali mentransfer uang kepada Lisa sebesar Rp 250 juta. Meirizka mentransfer lagi pada 25 Maret 2024 sebesar Rp 100 juta. Lalu pada 10 Maret 2024, uang kembali ditransfer sebesar Rp 50 juta.
Selanjutnya, 6 Juni 2024, Meirizka mentransfer sebesar Rp 50 juta. Pada 13 Agustus 2024, uang ditransfer kepada Lisa sebesar Rp 50 juta, serta pada suatu waktu pada 2024, Meirizka kembali melakukan memberikan uang tunai di kantor Lisa Rahmat sebesar Rp 2 miliar.
Akibat perbuatannya, mereka didakwa melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
detik
Komentar