Aktivis dan Masyarakat Minta Sinetron Suara Hati Istri-Zahra Indosiar Dihapus

Nasional597 Dilihat
Foto : Net/Ist

Jakarta, (Metropolis.co.id) – Dinilai memberikan kesan pada publik bahwa perkawinan anak SAH saja dilakukan termasuk menjadi pelaku poligami dan kekerasan seksual terhadap anak dengan menayangkan siaran “Suara Hati Istri – Zahra” yang di tayangkan di Indosiar (Streaming dan youtube) membuat ratusan lembaga dan aktivis perempuan meradang.

Hal itu cukup beralasan, lantaran tayangan yang dinilai tak laik itu disuguhkan ke masyarakat luat ‘tanpa filter’ bahkan setiap hari pada pukul 18.00 WIB disalah satu televisi, dengan mengisahkan seorang pria dengan tiga istri, dengan istri ketiga yang diperankan oleh artis yang masih dibawah umur.

Dikisahkan bahwa “Tirta” yang diperankan oleh Panji Saputra dengan usia 39 tahun adalah seseorang laki-laki yang kaya raya dengan memiliki tiga orang istri dengan berbagai karakter yang dimuat dalam alur cerita. Dimana salah satu istri Tirta dalam sinetron diperankan oleh artis Lea Ciarachel Fourneaux yang memerankan adegan istri berusia 17 tahun, dalam kisah “Zahra” dianggap mempromosikan poligami dankekerasan seksual terhadap anak.

Program sinetron ini terkesan ingin memberikan kesan pada publik bahwa perkawinan anak SAH saja dilakukan termasuk menjadi pelaku poligami dan kekerasan seksual terhadap anak dengan menayangkan siaran tersebut dalam salah satu program sinetron mega series di Indosiar juga akan semakin mempopulerkan para pelaku perkawinan anak, pelaku poligami dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Sebagai salah satu tontonan masyarakat yang banyak di gemari masyarakat, khususnya kelompok perempuan dan anak seharusnya konten yang ditampilkan memberi pesan dan pendidikan tentang bahaya perkawinan anak dan bahaya kekerasan seksual terhadap anak.

“Tontonan yang ditampilkan seharusnya bisa mendidik dan tontonan yang imajinatif, bukan malah sebaliknya kasus perkawinan anak, kasus poligami dan kasus kekerasan seksual terhadap anak dianggap sebagai tontonan yang mendidik dalam acara tersebut, bahwa anak dibawah usia 19 tahun seperti yang tertuang pada Undang-Undang, Perkawinan No. 16 Tahun 2019 tidak bisa melagsungkan perkawinan,” ujar salah satu aktivis perempuan Lampung, Ria Yulianti meneruskan penyataan bersama dari ratusan organisasi termasuk Komisi perempiuan indonesia dan unsur organisasi lainya, Kamis (03/06/2021).

Jika melihat rekaman yang beredar di Youtube dan Twitter bahwa peran Zahra adalah seseorang yang dipaksa menerima pinangan Tirta demi melunasi hutang orangtuanya. Adegan ranjang di perankan oleh Zahra dan Tirta dalam sinetron tidak etis dilakukan melihat usia Lea Ciarachel Fourneaux masih dibawah umur.

Bahwa fakta menunjukkan pemeran Zahra adalah seorang anak yang masih dibawah 18 tahun dan telah memerankan karakter orang dewasa sebagai istri ketiga adalah salah satu bentuk eksploitasi anak diranah industri penyiaran.

“Seharusnya pihak rumah produksi, Stasiun TV, Agensi/Manajemen Artis yang menaungi artis harus lebih selektif dalam menentukan pemeran serta peran yang cocok untuk dilakoni artisnya. LCF,” ujar Ria meneruskan rilis bersama Koalisi 18+ dan KPI.

IUa juga menilai seharusnya mendapatkan peran yang sesuai dengan usianya, bukan justru mendalilkan bahwa “Suara Hati Istri – Zahra” sebagai sebuah karya sehingga dilakukan pembiaran.

“Oleh karenanya, berdasarkan poin-poin diatas, dengan melihat tujuan dan kemanfaatannya, Masyarakat Sipil yang tergabung dalam gerakan pencegahan perkawinan anak atau biasa disebut jaringan Koalisi 18+,” tegasnya

Adapun beberapa point yang disampaikan adalah :

1. Mendesakkan Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk menurunkan seluruh episode tayangan siaran dengan judul Sinetron Mega Series Indosiar : “Suara Hati Istri – Zahra” yang menggambarkan pelaku kawin anak, pelaku poligami dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang tayang setiap hari pukul 18.00 WIB dari arsip TV, Youtube, Twitter, Google, Instagram dan media sosial lainnya yang dapat mengakses siaran tersebut.

2. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak segera melakukan tindakan tegas untuk menyuarakan dan memberikan rekomendasi kuat untuk menarik tayangan sinetron yang dimaksud, karena mempromosikan perkawinan usia anak, kekerasan terhadap perempuan, dan pelemahan upaya kesetaraan dan
keadilan gender dalam keluarga.

3. Mendesakkan Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) mengevaluasi secara menyeluruh Program Sinetron yang dimaksud dan melakukan proses seleksi scene/bagian sinetron/film yang tidak patut dikonsumsi anak-anak dan publik, termasuk memberikan pesan kepada publik lewat adegan-adegan yang memperkuat
pemahaman masyarakat bahwa perkawinan usia anak, dan perilaku kekerasan seksual terhadap anak.

4. Meminta Komisi Perlindungan Anak (KPAI) untuk melakukan investigasi secara
komprehensif terhadap Agensi atau Perusahaan Manajemen tempat LCF bernaung, dan melihat sejauh mana bisnis sinetron atau program televisi tunduk pada Undang-Undang perlindungan anak, dan peraturan perundangan lainnya yang berlaku.

5. Meminta Rumah Produksi untuk menghentikan produksi dan mencegah terjadinya peredaran Sinetron Mega Series Indosiar : “Suara Hati Istri – Zahra” karena bertentangan dengan semangat pencegahan penghentian perkawinan anak dan penghapusan kekerasan seksual.

6. Meminta Stasiun Televisi khususnya Indosiar agar lebih selektif dalam memberikan tayangan sehingga tidak berdampak buruk pada perkembangan anak di Indonesia dan mengkaji seluruh tayangan termasuk proses produksi agar tidak melanggar ketentuan terkait perlindungan anak seperti yang tertuang dalam
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

7. Meminta Indosiar dan Rumah Produksi Mega Kreasi Film untuk membuat Iklan
Layanan Masyarakat tentang pencegahan perkawinan anak sebagai bentuk
permintaan maaf atas telah tayangnya Sinetron Mega Series Indosiar : “Suara
Hati Istri – Zahra”.

8. Menyerukan kepada tokoh agama dan lintas iman untuk bersama-sama menyatakan sikap menolak segala bentuk Program Televisi dan Audio Visual lainnya yang mempromosikan perkawinan anak, perilaku kekerasan seksual terhadap anak, dan kekerasan terhadap perempuan menjadi konsumsi publik.

9. Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) melakukan monitoring ketat terhadap produksi pengetahuan yang mendorong perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Red

Komentar